Sabtu, 28 Februari 2009

Kebahagiaan

Sesungguhnya entah dengan sepenuh kesadaran atau tidak, seluruh kita manusia yang hidup dan tinggal di bumi ini pastilah menginginkan kebahagiaan. Saya yakin sebagai manusia yang berakal kita semua menginginkan kehidupan yang damai, tentram dan menyenangkan. Meskipun tidak sedikit juga dari kita yang ingin hidup -dengan bahasa Andrea Hirata- berselimut dengan tantangan, bertemu dengan mara bahaya, menerjang batu granit kesulitan, tetapi sesungguhnya itu semua adalah tuntutan kejiwaan kita yang ingin merasakan kebahagaiaan, dan kebahagiaan itulah yang bagi sebagian orang di artikan dengan hidup penuh tantangan tadi, yak karena itulah obsesi kedamaian bagi orang-orang ini.
Tetapi ada sebuah pertanyaan menarik, apa sebenarnya makna kebahagiaan? Kira-kira apa parameter orang yang sudah di sebut bahagia? Dalam kehidupan masyarakat kita yang mulai hedonis, bagi sebagian orang parameter sederhana dari bahagia adalah dengan terpenuhinya harta, tahta dan wanita. Tetapi apakah sepenuhnya benar persepsi ini?
Ada sebuah analogi yang menarik tentang kebahagiaan yang patut kita jadikan cermin, ceritanya adalah ada seorang pekerja keras yang terbiasa makan dengan jumlah banyak. Pada suatu hari pekerja keras ini mendapat undangan dari tiga tempat yang berbeda. Dengan hati berbunga-bunga pekerja keras ini menyempatkan waktu untuk hadir di tiga tempat tersebut pada hari yang sama, karena memang undangannya pada hari yang sama. Sejak pagi pekerja keras ini tidak sarapan, agar nanti bisa makan sebanyak-banyaknya dan gratis lagi, itulah yang ada di benak pekerja keras ini. Singkat cerita di tempat pertma dia mendapat makanan nasi pecel dengan lauk rempeyek kacang dan tempe goreng. Dengan lahapnya dia makan karena memang dia sudah sangat lapar sekali, dan tanpa di sadari dengan piring kosong dia beranjak lagi ke tempat nasi dan lauk pauk, ya tepat sekali pekerja keras ini nambah untuk kedua kalinya. Setelah merasa kenyang dan urusan dengan tuan rumah pertama selesai dia segera pamit, karena rumah kedua sudah menanti.
Di rumah kedua ternyata tanpa di duga makanan yang di sediakan lebih luar biasa, ada ayam bakar, ayam goreng, soto ayam dan segala jenis masakan ayam. Tanpa babibu lagi diambilnya piring, dia ambil nasi sedikit dan lauk pauk yang banyak langsung di santap itu makanan, sebenarnya dia ingin nambah tapi perut sudah mulai tidak mampu menahan kenyang, dan mulutpun sudah mulai enggan mengunyah makanan. Acara makan selesai siap-siaplah dia pamit dan berangkat ke tempat ke tiga.
Di tempat ketiga terpanalah pekerja keras kita ini, karena makanan yang di hidangkan sungguh luar biasa, ada sate kabing kesukaannya, ada gurami bakar yang lezat, rendang sapi yang menggoda, soto daging yang mak nyuss. Tetapi apa yang terjadi, pekerja keras kita ini hanya duduk dan tidak mengambil makanan sama sekali karena perutnya sudah terlalu lemah untuk menambah beban makanan. dan ketika mau pamit pulang untuk mengatakan ingin di bungkus dia malu sekali sama tuan rumah dan jadilah di pulang dengan tangan kosong.
Dari kisah di atas, apa kira-kira inspirasi yang bisa kita ambil? Bila ternyata pekerja kerasa tadi adalah diri kita sendiri, kira-kira menurut anda mana makanan yang paling enak? Ya yang jelas pasti kita sepakat bahwa makanan yang paling enak adalah makanan yang di rumah pertama walaupun sederhana, karena pada saat itu harapan bertemu dengan kenyataan, yakni harapan perut kosong segera di isi dan harapan ini bertemu dengan nasi pecel dan lauk sederhana. Dan inilah definisi bahagia yang sejati. Harapan bertemu dengan kenyataan. Dan lebih dari itu merasa cukup dengan apa yang di miliki sebagai pengejawantahan rasa syukur adalah ekspresi dari rasa bahagia itu sendiri, karena meskipun begitu menggiurkannya makanan di rumah ke tiga, tetapi karena pekerja keras sudah merasa cukup dengan isi perutnya maka dia tak berkehendak untuk melanjutkan tradisi makan banyaknya. Dan begitulah kita, manusia bahagia yang sejati adalah senatiasa merasa cukup dengan apa yang di miliki, eits bukan berarti saya mengajarkan agar anda pasrah bongko’an dengan apa yang kita miliki saat ini. Bukan, bukan itu yang saya harapkan, tetapi dalam hal kepemilikan harta, kekuasaan maka merasa cukuplah dengan apa yang kita miliki saat ini tanpa pernah memandang remeh usaha untuk memperbaikinya. Dan memang kita harus mengejar harapan yang lebih dari kehidupan kita saat ini.
Yang terakhir sesungguhnya bahagia adalah kondisi jiwa. Sebenarnya seberapapun buruk kondisi yang kita hadapi saat ini, bila kita sudah menyediakan hati yang lapang, dada yang terbuka, pikiran yang jernih maka seberapapun berat masalah yang kita hadapi maka satu keyakinan yang ada pada diri kita bahwa jalan keluar itu sudah ada di depan kita dan kita sudah bersiap untuk menyongsong cahaya itu. Karena cahaya itu sudah dekat, dekat sekali. Dan selamat menempuh hidup dengan penuh kebahagiaan. Monggo Lanjut...