Senin, 19 Desember 2011

Pasrah, Sampah dan Banjir

Beberapa waktu yang lalu, tatkala sudah selesai mencuci baju dan siap untuk di jemur. Hmmm ternyata cuaca siang itu belum bersahabat dengan saya, karena baru beberapa baju yang saya jemur, gerimis sudah datang dengan malu-malu. Ahhhh padahal siang itu saya sudah ada janji, tidak mungkin saya harus berdiam diri menuggu gerimis ini. Baju tetap saya jemur dan saya pasrahkan padaNya, kalau mau hujan ya hujan saja kalau memang kering ya alhamdulillah. Tiba-tiba saya memasrahkan urusan yang sebenarnya masih berada pada kendali saya kepadaNya. Sore hari setelah saya balik ke kos ternyata baju sudah kering, alhamdullillah. Di waktu yang lain hal sama terulang kembali, tetapi saya kurang beruntung tatkala sore hari saya pulang, ternyata semua jemuran saya basah kuyup. Alamat saya musti membilasnya kembali, ya sudah.
Kalau mengingat-ingat kejadian ini terngiang-ngiang di kepala saya betapa hari ini masyarakat kita melakukan hal yang sama, seperti yang saya lakukan, pasrah bukan pada tempatnya. Tatkala hari ini betapa mudahnya kita melihat berserakannya kertas tiket di pintu tol, sebagian masyarakat kita juga dengan mudah membuang sampah ke selokan, sungai juga badan air yang lain. Seolah-olah mereka ingin berkata begini kepada Tuhan “Tuhan ini sampah aku pasrahkan kepadaMu, tolong diurus ya Tuhan. Engkau Maha Baik, Maha Segalanya, pasti Engkau bisa menyelesaikan perkara sampah ini”. Sampah-sampah yang dibuang selama ini akhirnya menjadi apa? Apakah Tuhan benar- benar “mengurusnya” seperti yang di harapkan masyarakat? Apa yang terjadi di hampir seluruh kota besar di Indonesia adalah hasil jerih payah “kepasrahan” masyarakat. Begitu mudahnya mereka mengalih tugaskan Tuhan hanya untuk mengurusi sampah dari hasil sisa-sisa aktivitas mereka. Sehingga tatkala Tuhan “gagal” menjalankan “tugasNya” dengan hadirnya banjir di Jakarta, Bandung, Semarang dan Kota-kota yang lain maka mari beramai-ramai menyalahkanNya. Begitu kah? Hmmmmmm. Inilah pasrah pada tempat yang salah. Karena sebenarnya tentang sampah ini masih berada pada wilayah jangkauan manusia bukan langsung diserahkan kepada Tuhan. Jangan-jangan mereka itu adalah saya, Anda dan kita semua?
Terus apa yang bisa kita lakukan hari ini? Haruskah setiap rumah menerapkan pembuatan pupuk kompos untuk sampah organik? Tidak usah terlalu muluk-muluk, minimal mulai hari ini jangan pernah satu kalipun kita membuah sampah tidak apda tempatnya, terutama di tempat-tempat umum seperti stasiun, terminal, juga moda transportasi seperti kereta api. Kalau memang kita memiliki sampah simpanlah terlebih dahulu, baru buang tatkala ketemu tempat sampah. Yang kedua jangan pernah sekalipun kita membuang sampah di selokan, sungai dan badan air yang lain seperti situ, danau, juga laut. Kalau memang akhirnya masih banyak orang yang tidak peduli pada lingkungan, minimal kita tidak menjadi bagian dari mereka yang memasrahkan urusan sampah dan banjir kepadaNya. Wallahu a’lam Monggo Lanjut...

Integritas

Tepat hari Minggu kemarin, saya kebetulan memiliki janji berjumpa dengan kawan lama saya semasa kuliah dulu di UNDIP Semarang, Mas Decky. Seorang kawan lama yang menyenangkan. Kami berjanji ketemu di Stasiun UI Depok. Tepat setelah menunggu KRL Ekonomi hampir 1 jam lamanya di Stasiun Bogor akhirnya setelah perjalanan hampir 30 menit lebih saya tiba di Stasiun UI. Ternyata setelah meraba saku jaket tiket kereta yang saya miliki masih utuh, tidak ada petugas yang datang untuk untuk melubangi tiket seperti biasanya atau memang kalau di KRL Ekonomi tidak ada petugas yang melubangi? Entahlah saya tidak tahu. Tatkala saya bertemu dengan kawan lama saya ini, saya sampaikan kepadanya “bro sebenarnya saya bisa saja neh ga usah beli tiket lagi, ne tiket masih utuh” kata saya sambil menunjukkan tiket kepadanya. “ wah boleh tu bro, tapi emangnya ente mau?” tanyanya. “nah makanya ane bilang, sebenarnya ane bisa, tapi ga ahh. Ini bukan perkara uang Rp. 2000,- tapi ini perkara integritas” kata saya.
Kali ini saya tidak ingin menyoroti kinerja dari salah satu BUMN di negeri ini, karena memang saya tidak memiliki kapasitas itu. Tetapi pada tulisan ini saya ingin kita lebih melihat kedalam diri kita masing-masing. Di tengah-tengah kehidupan masyarakat kita yang instan dan cepat, juga karena pelayanan umum yang belum layak, termasuk transportasi umum, kita akhirnya ikut-ikutan menjadi pengen cepat, tidak jujur dan melupakan prinsip-prinsip yang kita yakini kebenarannya. Karena males ikut sidang akhirnya kita “memilih” “sidang” di tempat tatkala ditilang sama oknum polantas. Yang sesungguhnya hal itulah yang menjadi pupuk penyubur tindakan ilegal di aparat penegak hukum kita. Karena tidak belajar akhirnya kita memilih menyontek tatkala ujian, toh guru atau dosennya juga tidak tahu, kita mementingkan nilai, memang nilai itu penting tetapi bernilai itu lebih penting. Karena tidak ada polisi yang berjaga dan betapa macetnya lalulintas, kita menjadi terbiasa untuk tetap melaju meski lampu merah sedang menyala. Karena ijin usaha yang rumit diperoleh akhinya kita lewat jalan belakang. Karena SIM “pasti” ditolak kalau ujian secara ”benar-benar” akhirnya kita memilih untuk memberikan pelicin “uang kesehatan” agar kita memperoleh SIM. Juga karena karena yang lain. Kita sudah terlalu lelah kalau harus mengingat bahwa hari ini prinsip-prinspip kejujuran sudah benar-benar terkuras habis dalam kehidupan masyarakat kita. Bahkan sering saya menemukan tatkala berbelanja di warung atau di sebuah toko dan meminta nota, pasti di tawari nota kosong atau mau di isi berapa pak? Sungguh ironis sekali kejujuran di negeri ini, kita sudah terdidik menjadi generasi mendapatkan bahwa kejujuran itu menjadi sebuah ketidak wajaran, sesuatu yang asing, tempat yang jauh dan tak terjangkau. Pada akhirnya kita seringkali memilih untuk tidak jujur.
Sebaiknya mari kita tidak saling menghujat, kita mulai dari diri kita masing-masing untuk membenahinya. Tidak usah di mulai dari sesuatu yang besar, mulailah dari apa yang kita bisa dan kita mampu. Semoga kejujuran-kejujuran kecil yang kita lakukan akan berdampak baik untuk bangsa dan masyarakat kita kedepan, bisa jadi bukan kita yang menikmatinya tetapi anak cucu kita nanti.
Sore itu, setelah selesai berdiskusi, ngobrol ngalor ngidul dengan kawan lama saya tadi, saya di antar kembali ke Stasiun UI Depok. Tiket KRL Ekonomi masih utuh di saku jaket. Tetapi saya memilih membeli tiket baru comuterline untuk perjalanan pulang ke Bogor. Astagfirullah. Monggo Lanjut...

Selasa, 13 Desember 2011

Santun dan Sigap Membantu

Suatu kali ada seorang pemuda yang sedang terburu-buru ingin mengikuti suatu acara di Jln Sriwijaya, Kota Semarang. Pemuda ini memacu kendaraannya agak terburu karena sudah ada janji dengan rekannya. Tetapi naas, baru sampai di daerah Jatingaleh kawasan PLN Jateng, ternyata terasa ada susuatu yang tidak nyaman dengan ban belakang sepeda motor yang ia kendarai, setelah dia cek ternyata benar, ban belakang motornya bocor. Setelah agak dipaksa untuk jalan beberapa saat, akhirnya ketemu juga tukang tambal ban di Kawasan Kesatrian.
Setelah ngobrol sebentar dengan tukang tambal ban, di serahkanlah sepenuhnya urusan tambal menambal ban tersebut pada ahlinya. Pemuda tersebut akhirnya duduk di kursi dan menunggu proses tambal ban. Beberapa menit kemudian pemuda yang sedang mengamati proses penambalan ban motornya ini dibuat bingung oleh perilaku tukang tambal ban. Tukang tambal ban ini mutar-muter, kedepan belakang, berulang kali membongkar tempat peralatan kerjanya. Akhirnya dikarenakan melihat hal yang sepertinya tidak wajar tersebut pemuda ini berdiri dan bertanya kepada tukang tambal ban. “ada apa mas?” tanyanya. “ini mas, ban luarnya ga bisa dibuka, bagaimana saya bisa menambal ban dalamnya kalau ban luarnya saja ga bisa dibuka?” jawab tukang tambal ban. Menurut Anda bagaimana kira-kira kelanjutan kisah diatas? Kalau saya yang jadi pemuda tadi mungkin saya akan sedikit menggerutu sambil memaki tukang tambal ban.”gimana seh, ini kan pekerjaan Anda setiap hari? Masa membuka ban luar saja tidak bisa? Niat ga sih jadi tukang tambal ban?” haha. Itu kalau saya, atau mungkin juga Anda kali ya? Hehe
Tetapi Anda ingin tahu apa yang dilakukan sang pemuda pagi itu, dengan janji yang terburu-buru? Pemuda itu bangkit dari tempat duduknya, meletakkan tas punggungnya, melingkis lengan baju panjangnya dan berkata kepada tukang tambal ban. “coba sini mas saya bantu” begitu santun dan mulia perilaku pemuda ini. Setelah beberapa lama berusaha dan lumayan berkeringat, akhirnya ban luar motor bisa dibuka juga. Dan urusan menambal kembali diserahkan kepada tukang tambal ban.
Saudaraku yang budiman, tidak banyak hari ini kita menemui seorang pemuda yang berakhlak begitu santun dan mulia. Apalagi dalam kisah ini sang pemuda juga sedang ada janji dan terburu-buru. Saya yakin sebagian besar dari kita bisa jadi memilih meluapkan emosi negatif dibanding mengendalikannya dan membantu kesulitan sang penambal ban. Tapi dari kisah ini kita belajar bahwa meluapkan emosi dalam bentuk sebuah kemarahan sebenarnya bukan sebuah solusi yang menjawab permasalahan yang kita hadapi. Tetapi tatkala kita mampu mengelola emosi negatif yang kita miliki dengan menarik nafas dalam, berkata dengan tenang dan halus, dan malah berusaha membantu kesulitan yang dihadapi oleh tukang tambal ban, ternyata itulah solusi dari permasalahan yang kita hadapi.
Ini mungkin hanya satu buah cerita ringan yang sesungguhnya bisa jadi masing-masing kita pernah mengalaminya dalam versi yang berbeda. Tatkala tuntutan pekerjaan datang tanpa henti, tetapi tiba-tiba kita disela oleh masalah sepele tetapi bikin kesel, tiba-tiba pula kita kehilangan kebijaksanaan dan berubah menjadi “serigala-serigala” baru yang siap menerkam mangsanya. Padahal sebenarnya perilaku tersebut bukanlah sebuah jalan keluar atas masalah yang sedang mendera kita. Bila kita mau sedikit berbenah, merubah pola pikir, mengendalikan emosi yang kita miliki niscaya malah kita telah berhasil menemukan sebuah pencerahan baru bagi kehidupan kita, dan sesungguhnya semua yang kita lakukan tadi adalah demi kebaikan diri kita sendiri. Monggo Lanjut...

Senin, 12 Desember 2011

BAB “iklhas”

Jangan ada yang salah sangka bahwa tulisan BAB diatas itu, Anda baca bab seperti bab 1, bab 2 dalam pengerjaan skripsi. Tetapi BAB diatas mesti anda baca Be A Be, hehe. Ya itu, buang air besar. Gimana ceritanya? Jangan mikir jijik atau jorok dulu dah. Begini, setelah menyantap snak berupa martabak, kentang goreng, dll, saya yang pertama kali datang ke aceh waktu itu, diajak lagi jalan-jalan kuliner malam oleh seorang sahabat disana. Untuk “mengganjal” perut malam itu akhirnya dibawalah saya menuju sebuah warung khas nasi goreng, saya pesan nasi goreng kambing muda. Wah enak juga rasanya, tambah dadar, krupuk melinjo dan jus belimbing, hmmmm mantap dah. Haha, jangan pada ngiri ya.
Pagi harinya di penginapan, kami sudah disuguhkan nasi goreng “lagi”, tambah tahu goreng, kerupuk “lagi”, kopi, dan semangka plus pepaya. Waduh ini sarapan apa makan siang? Hehe. Tapi, nah ini yang menarik, beberapa menit kemudian percampuran antara makanan-makanan yang kaya rempah itu berujung pada rasa yang tidak nyaman pada perut saya. Jangan pada bilang sukurin ya, hmmmmm. Jadilah saya pagi itu musti buru-buru “berlari” kekamar penginapan untuk menuntaskan “kewajiban” saya, persis setelah saya menyantap sarapan pagi itu.
Akhirnya semua-muanya saya keluarkan, tak perlu Anda bayangkan betapa leganya saya waktu itu. Dan tak pernah sekalipun saya menengok kebawah, yang mana hasil dari nasi goreng kambing muda ya? Ahhh jangan-jangan belum “habis” benar. Yang mana “sisa” dadar ya? Hmmm jangan-jangan belum terserap dengan baik dalam perut? Ahhhh tak pernah sedetik pun terbersit dalam benak saya untuk berpikiran seperti itu. Apakah ada di antara Anda sekalian yang pernah melakukannya? Setelah mendapatkan kelegaan itu, dengan ragu-ragu Anda mengecek keberadaaan sisa-sisa makanan Anda? Saya yakin Anda semua akan mengatakan TIDAK. Ya kan?
Dalam perenungan pagi itu saya tersadar betapa hari itu saya musti belajar tentang keikhlasan dari proses BAB. Inilah yang saya sebut BAB ikhlas. Kenapa begitu? Dari sana saya belajar bahwa tatkala kita sudah mengeluarkan sesuatu dari dalam diri kita, tak perlu lagilah kita melihat-melihat kembali, memikirkan apa yang sudah kita tunaikan. Sudah, relakan saja. Mungkin ini juga tentang amal baik yang kita lakukan, tentang kerja-kerja kita. Saya pagi itu belajar ikhlas untuk tidak selalu melihat kebelakang yang seolah-olah bahwa hal itu menunjukkan kita sudah banyak berbuat dan berbuat banyak, padahal yang terjadi adalah masih banyak bangunan kebaikan yang musti kita kerjakan, masih banyak amal soleh yang harus di tunaikan. Hari ini tugas kita adalah terus bekerja keras untuk kebaikan kemanusiaan tanpa perlu melihat apakah orang lain akan memberikan penghargaan atau tidak. Hari ini tanggungjawab kita adalah berbuat yang terbaik untuk masyarakat tanpa perlu melihat apakah masyarakat akan mengelu-elukan kita atau malah mencemooh kita. Kita hanya perlu bekerja dan biarlah DIA saja yang menilai dan “menggaji” kita dengan penuh kepantasan dari pekerjaan yang kita lakukan. Karena memang keikhlasan lah yang akhirya mengantarkan kita pada syurgaNya bukan yang lain.
Wallahua’lam Monggo Lanjut...

Jumat, 09 Desember 2011

Bertemu Dengan “Sang Pemahat”

Dalam film Rambo III yang bercerita betapa “hebatnya” Rambo “mengahajar” pasukan Rusia di Afghanistan ada sebuah dialog yang menarik perhatian saya. Diawal film Jhon Rambo yang di perankan oleh Silvestre Stallone sudah enggan berperang dan keluar dari kancah peperangan dan memilih tinggal di sebuah kuil dan ikut bekerja dalam proyek pembangunan kuil. Pada saat itulah mantan Komandan atau Kaptennya mendatangi Rambo dan mengajaknya kembali berperang di Afghanistan. Dalam dialog itulah terselip sebuah cerita menarik bagi saya. Dahulu kala ada seorang pemahat yang sangat terkenal dan hasil pahatannya sangat bagus. Suatu ketika Sang Pemahat ini kedatangan seorang tamu yang sangat mengagumi hasil pahatan Sang Pemahat. “hasil pahatan anda sangat bagus sekali” kata sang tamu. “bagaimana Anda melakukannya?” lanjutnya. “ohh maaf sebenarnya bukan saya yang menciptakan sebuah pahatan yang bagus, tetapi dari awalnya memang saya menemukan sebuah bahan yang bagus, tugas saya hanya menyingkirkan srempilan-srempilan kecil yang ada di sekeliling bahan pahatan itu, jadi bukan saya yang membuat sebuah pahatan bagus, tetapi dirinya sendirilah yang membuatnya” jawab sang pemahat.
Anda penasaran dengan lanjutan dialog di film tersebut? Mohon maaf saya belum bisa menceritakannya dengan detail disini, saran saya adalah silahkan anda menontonnya sendiri, hehe. Tetapi yang ingin saya bagi di tulisan ini adalah sesungguhnya setiap kita adalah bahan-bahan pahatan yang memang sudah memiliki potensi yang luar biasa dari sananya, memiliki keunikan yang khas yang di anugerahkan oleh Tuhan, ya setiap manusia, setiap kita pasti memiliki kekhasan yang unik yang tidak dimiliki oleh orang lain. Pertanyaannya adalah apakah hingga hari ini kita sudah mengetahui keunikan potensi yang kita miliki? Dan apakah kita sudah menyingkirkan srempilan-srempilan kecil di pinggir-pinggirnya kemudian kita poles sehingga potensi terseebut menjadi sebuah daya ledak yang luar biasa bila kita gunakan dalam bekerja dan berkarya bagi kemanusiaan.
Tatkala kita hingga hari ini masih mengerjakan aktivitas atau pekerjaan yang bisa jadi bukan potensi terbaik yang kita miliki maka tunggulah saja masa bosan itu, pasti akan kau temui masa malas itu, pengen keluar dari pekerjaan akan menantimu. Tetapi bila memang hinga hari ini Anda masih dalam proses pencarian apa potensi terbaik yang Anda miliki, maka minimal ada 2 hal yang musti Anda lakukan. Yang pertama adalah Anda harus segera menemukan guru “Sang Pemahat” yang biasanya memang lebih tahu apa potensi terbaik yang Anda miliki. Segera temui dia, sampaikan minat Anda kepadanya, ceritakan mimpi-mimpi apa yang ingin Anda capai, tuturkan harapan-harapan besar apa yang ingin Anda raih. Niscaya “ Sang Pemahat” akan memberikan jalan keluar bagi Anda. Kenapa Anda butuh guru? Coba jawab pertanyaan saya dulu, kenapa Muhammad Ali, seorang petin ju legendaris memiliki pelatih? Padahal bila Sang Pelatih bertanding dengan Muhammad Ali, Sang Pelatih pastilah kalah. Kenapa? Jawab sendiri ya.
Yang kedua yang harus segera Anda lakukan adalah anda musti segera menebar benih-benih kerja keras pada lahan potensi yang Anda miliki sekarang. Karena semakin lama Anda menunggu menanam benih tersebut maka semakin lama juga masa panen yang akan Anda tuai. Tatkala Anda bekerja pada lahan potensi yang Anda senangi niscaya rasa capek itu akan kalah dengan harapan Anda, rasa lelah itu akan musnah dengan impian Anda, rasa kesal itu akan luluh dengan cita-cita yang ingin Anda raih di masa depan.
Sesungguhnya tugas kita hanyalah bekerja keras, memilki sumur kesabaran yang dalam dan tetap berharap pada Tuhan akan masa depan kita. Ya hanya itu.
Finish @terminal 3B Bandara Soetta Jumat yang hebat 9 Desember 2011 pukul 07.44 WIB Monggo Lanjut...