Senin, 14 November 2011

Untuk Indonesia Yang Lebih Baik

Cukup sore waktu itu, dinginnya ruangan AC tak membuat saya segera ingin mangakhiri hari itu dan segera pulang ke kos. Bukan karena pekerjaan yang masih menumpuk yang harus segera diselesaikan, tetapi ada satu buah janji yang musti saya tunaikan. Yakni ada seorang adik yang ingin berbagi cerita di senja itu. Setelah saya tunaikan shalat magrib berjamaah di Masjid kantor, akhinya langung saya menuju ke komputer yang memang internetnya tidak saya matikan.
Setelah beberapa saat menunggu akhirnya yang di tunggu muncul juga, memang hari ini jejaring sosial menawarkarn fitur yang lumayan lengkap. Dan lewat salah satu jejaring sosial itulah kami memulai pembicaraan di senja itu. Awalnya kami memang hanya bertanya kabar dan cerita perkembangan-perkembangan terbaru soal diri masing-masing, lagi sibuk apa, dll. Akhirnya sesi sharing yang sebenarnya di mulai, yakni tentang kondisi organisasinya yang sedang kalut karena banyak konflik dengan rekan sejawat. Ya memang konflik internal di organisasi kadang kala lebih rumit untuk di selesaikan dibandingkan bila organisasi itu dihadapkan pada konflik eksternal tetapi internalnya solid. Benang merah dari diskusi senja itu adalah dia akan berusaha mencari solusi dari permasalahan yang dihadapinya dan pantang menyerah. Karena bagi dia organisasi ini adalah ladang untuk memberikan sumbangsihnya. Tetapi yang menarik bagi saya adalah statemennya yang terakhir. “ saya teringat nasehat mas dulu waktu di Bandungan” “nasehat yang mana?” Tanya saya. “Sebenarnya hidup itu untuk apa? Apakah siklus kehidupan kita hanya kuliah, kerja , nikah dan mati? Apakah hanya seperti itu? Dan harusnya memang hidup musti bermanfaat bagi orang lain.”
Tersentak saya mendengar uraian darinya. Dan ternyata kata-kata itu dulu keluar dari mulut saya ini. Saya menjadi bertanya-tanya kembali, ya sebenarnya untuk apa kita hidup ini? Mengejar kebahagiaan? Kebahagiaan yang seperti apa? Jangan-jangan siklus yang ada adalah kuliah, kerja, nikah , punya anak dan mati? Hanya itu? Menyedihkan sekali sepertinya, kalau kehidupan yang luar biasa ini hanya kita gunakan untuk keegoisan diri kita sendiri. Mementingkan kebahagiaan diri sendiri. Hanya peduli dengan kecemerlangan karir pribadi, menghalalkan segala cara, melakukan apapun demi cita-cita terwujud tanpa memperhatikan norma dan nilai serta prinsip yang kita pegang. Memang awalnya seperti sangat membahagiakan, kita memilki apa yang kita inginkan, menikmati waktu santai, mengendarai mobil yang kita senangi, liburan ketempat yang sukai, dan menikmati senja di rumah bersama keluarga.
Tetapi apakah benar hal itu adalah kebahagiaan yang hakiki? Yang benar-benar kita inginkan. Menikmati waktu untuk diri sendiri? Ataukah sebenarnya itu hanyalah kesenangan belaka? Bukan kebahagiaan seperti yang kita idam-idamkan. Coba bertanya saja pada hati kecil kita masing-masing. Kebahagiaan yang sejati adalah bagaimana bila kita mampu membagi kebahagiaan yang kita miliki kepada orang-orang di sekitar kita, kepada kelurga kita, kepada masyarakat di sekitar kita. Sehingga kehadiran kita akan senatiasa di harapkan oleh mereka yang menyayangi kita. Kata kuncinya adalah kontribusi. Kita harus membagi apa yang kita miliki hari ini kepada orang-orang di sekitar kita, masyarakat kita. Janganlah kita belajar menjadi orang yang hanya peduli dengan kebahagiaan bagi diri kita sendiri. Seperti merokok pada tempat-tempat umum, di kereta, di bus, angkot yang sesungguhnya itu adalah menunjukkan betapa egoisnya kita, demi kebahagiaan kita, kita mengorbankan kesehatan orang lain.
Berkontribusi tidak musti menunggu kita memiliki segalanya tetapi mari kita mulai dari apa yang kita bisa, apa yang kita mampu. Kalau hari ini kita memiliki ilmu ya berkontribusilah dengan ilmu yang kita milki, kalau hari ini kita memiliki senyum yang indah ya marilah mulai hari ini, kita menjadi pribadi yang murah senyum. Karena masyarakat kita sudah bosan dengan wajah-wajah pembohong dari para pemimpin kita. Bibir tersungging tapi sebenarnya hati tidak tersenyum. Mari kita tebarkan senyum terbaik bila bertemu dengan masyarakat kita. Bila hari ini yang kita miliki adalah harta maka silahkan sisihkan sebagian harta yang kita miliki dan sumbangkan kepada yang berhak. Kalau memang Anda merasa harta itu perlu di berdayakan, ya serahkan saja pada lembaga amil zakat yang Anda percayai.
Sesungguhnya bila hari ini kita masih mengutuk apa yang terjadi di Negara ini mungkin bisa jadi kita harusnya menjadi salah satu bagian yang di kutuk tersebut, karena bisa jadi kita masih menjadi pribadi-pribadi egois yang hanya mementingkan dirinya sendiri tanpa memperdulikan kepentiangn orang lain. So dari pada mengutuk kegelapan marilah kita menyalakan lilin cahaya. Tatkala masing-masing kita belajar menjadi penerang bagi gelapnya zaman ini makan yakinlah bahwa sebentar lagi bangsa ini akan menjadi sebuah bangsa yang besar karena lahirnya manusia-manusia baru yang peduli kepada masyarakatnya, yang tanggap terhadap permasalahan yang di hadapi mereka. Mari kita mulai dari apa yang kita miliki dan dari apa yang kita sanggupi. Itu saja. Terutama untuk para pemuda, karena di tanganmulah masa depan bangsa ini. Jangan biarkan hari-harimu habis unyuk kesenanganmu sendiri, gunakan waktumu untuk belajar, jangan hanya bejar dari bukumu, tapi belajarlah dari buku kehidupan, belajarlah dari masyarakatmu bahwa mereka hari ini membutuhkanmu. Mereka sudah lelah menunggu kesejahteraan yang di janjikan pemerintah, kini bukan saatnya lagi kita menggerutu , mari kita bergerak bersama, memperbaiki apa yang kita bisa, menyongsong sebuah fajar baru untuk negeri ini. Indonesia. Mari bekerja untuk Indonesia yang lebih baik.
Terimakasih untuk Bening Laksa Intan atas inspirasi berharganya.
Cc: Dewi Srihartatik, belajarlah untuk menjadi pribadi dewasa
To Etoser Nusantara: jangan pernah lelah belajar berkontribusi bagi masyarakat kita, mereka menunggu karya besar kawan-kawan. Monggo Lanjut...

Menghadapi Rasa Malas

Hanya sekedar sharing saja, metode ini yang saya uji cobakan pada diri saya sendiri dan memang beberapa kali berhasil. Tetapi bisa jadi metode ini tidak cocok untuk Anda. Karena masiing-masing kita adalah manusia-manusia unik yang memiliki perbedaaan cara berpikir dan pasti juga memiliki cara yang berbeda pula dalam menghadapi rasa malas.
Salah satu hal yang tidak menjadi kegemaran saya (bahasa halusnya malas, hehe) semenjak pindah ke Bogor adalah mencuci baju. Karena sewaktu di Semarang saya lebih banyak “memberdayakan” ekonomi masyarakat (beuhhhh) dengan luandry. Dan setelah di Bogor saya juga mencoba laundry dekat kos. Tapi aduh, kecewa berat saya dengan hasilnya. Wangi sih boleh tapi sangat-sangat tidak rapi, lipatan bajunya tidak tepat. Selain itu harganya 2 kali lebih mahal dari pada di Semarang, dan mungkin faktor yang terakhir ini yang membuat saya semakin tidak menggemari laundry di Bogor ( setidaknya laundry yang deket kos-kos an).
Nah seperti Sabtu siang ini, saya masih malas-malasan untuk mencuci baju saya, padahal seluruh baju kerja kayake sudah habis. Dan hari Minggu besok saya sudah ada agenda. Harusnya memang pagi tadi saya musti segera mencuci baju-baju yang menumpuk ini. Tapi saya termasuk orang yang moody, ahh nunggu nanti lah kalo saya sudah ada semangat mencuci. Saturday adalah lazy day. Hari bermalas-malasan, tidur-tiduran di kasur sambil memegang romote tivi. Tambah ngemil makanan ringan, asyik banget dah, hahaha. Tapi ternyata yang di tunggu-tunggu yakni mood semangat tak kunjung datang, padahal cucian musti segera di tunaikan. Terus piye jal?
Dengan langkah gontai saya ambil setumpuk baju itu dan saya bawa ke tempat mencuci, saya ambil deterjen, masukin baju ke ember kasih deterjen siram air. Artinya saya sedang merendam baju tersebut beberapa saat. Mengucek baju juga adalah hal yang tidak menyenangkan buat saya, huffttthh. Tapi setelah mengucek beberapa saaat dan melihat baju yang bersih, memelihat hasil baju di jemuran, ahhhh, usaha saya tidak sia-sia. Panas juga sangat mendukung. Dan apa yang terjadi? Tanpa mengenal lelah habislah seluruh baju kotor itu dan menjadi baju besih di jemuran. Yang saya rasakan adalah ternyata rasa malas itu kalah dengan kerja keras yang saya lakukan. Jadi jangan menunggu semangat untuk memulai sesuatu pekerjaan tapi mulailah bekerja maka semangat itu akan datang padamu. Ga percaya? Coba saja sendiri. Hehe
Sebenarnya ini hanya analagi bagi pekerjaan-pekerjaan kita yang lain. Banyak dari kita (tentu salah satunya saya) suka sekali menunda-nunda pekerjaan dengan alasan menunggu datangnya moody. Tetapi moody tak kunjung datang dan apa yang akhirnya terjadi? Ya, yang ada adalah pekerjaan itu menjadi semakin menumpuk dan tak tersentuh. Karena pekerjaan yang semakin banyak yang ada malah membuat kita semakin malas untuk segera menyelesaikannya dan cenderung untuk membiarkannya. Bila saat ini kita mulai malas mengerjakan sesuatu maka kerjakan saja dulu, dan bila Anda sudah melihat hasilnya nanti, tiba-tib rasa semangat itu akan mendatangi Anda dan memberikan kekuatan serta doronagn bagi Anda untuk terus menyelesaikan pekerjaan itu meskipun rasa capek telah datang. So jangan menunggu Anda termotivasi baru berbuat, tapi berbuatlah maka Anda akan termotivasi.
(Inspirasi dari Satria Hadi Lubis, sukron Ustad) Monggo Lanjut...