Jumat, 20 Januari 2012

Menyemir Sepatu dan Menyemir Hati

Setiap pagi, sebelum berangkat kerja ada salah satu kegiatan yang nyaris tidak pernah saya tinggalkan. Berhubung sepatu yang saya miliki untuk ke kantor juga cuma satu, sehingga setiap pagi sebelum berngkat kerja pasti saya menyemir sepatu saya terlebih dahulu. Kegiatan ini berlangsung tidak lebih dari 5 menit, entah sudah benar-benar mengkilap atau belum, yang jelas sepatu yang sudah di semir pasti memiliki perbedaan dengan sepatu yang tidak di semir. Biar sedikit kelihatan lebih hitam dan tidak jorok ahh.
Seperti pagi tadi, sebelum keluar rumah saya menyempatkan diri untuk menyemir terlebih dahulu sepatu hitam butut itu. Sedang asyik-asyiknya melakukan pe-nyemiran, terpikir oleh saya kenapa saya setiap pagi sebelum berangkat kerja musti menyemir sepatu ini? toh nanti juga kotor lagi? Benar kan pikiran saya pagi itu? Anda juga yang suka menyemir sepatu pernah terpikir demikian tidak? Kenapa kita musti menyemir sepatu yang kita miliki tiap pagi? Padahal tidak sampai sore sepatu tersebut juga sudah lusuh lagi, kena debu dan kotor, apalagi kalau musim hujan begini. Tetapi apakah setelah berpikir demikian adakah dari kita yang akhirnya memilih untuk tidak lagi menyemir sepatu? Saya yakin jawaban kita sama, yakni tidak. Kita masih akan tetap menyemir sepatu kita setiap pagi meski kita tahu bahwa tidak sampai siang sepatu itu sudah kotor lagi.
Kalau begitu keranjingannya kita dengan kegiatan menyemir sepatu, mustinya begitu juga rajinnya kita menyemir hati yang kita miliki. Hati juga perlu di bersihkan dari kotoran-kotoran, dari debu-debu kehidupan, hati juga butuh untuk di semir agar lebih mengkilap atau minimal kelihatan lebih “klimis” tanpa noda. Hati yang kita miliki juga bisa berdedu, kotor karena entah perilaku diri kita sendiri atau juga pengaruh lingkungan. Betapa banyaknya dari kita yang masih mudah meng-ejawantahkan emosi negatif kita dengan bentuk rasa marah. Masih ada dari kita yang belum mampu berbuat dengan ikhlas, masih banyak juga dari kita yang belum sabar. Bahkan karena seringnya kita melihat telivisi yang menayangkan tontotan “sampah”, akhirnya bisa membuat diri kita menjadi pesimis melihat bangsa ini. Itulah hati kita, mudah sekali terpengaruh kalau kita tidak berusaha menjaga dan kembali setia kita semir ulang.
Kalau menyemir sepatu mungkin kita lakukan setiap pagi, tetapi kalau menyemir hati lebih baik kita lakukan dengan frekuensi yang lebih sering. Bagi yang muslim, kita memiliki kesempatan 5 hari sekali untuk melakukan penjernihan kembali hati yang kita miliki, bisa di tambah duha di pagi hari, tilawah di siang hari dan tahajud di malam hari. Sering- sering juga berkumpul dengan orang-orang salih, atau lebih lengkapnya ada di tombo ati-nya Bang Opik. Bagi yang Nasrani dan Katolik setiap akan melakukan apapun Anda di minta untuk berdoa, bersyukur pada Tuhan atas segala karunia yang Dia berikan. Berdoa adalah momentum yang sangat tepat sekali dalam perjernihan hati. Bagi yang Hindu atau Budha, meditasi mungkin adalah cara yang paling tepat untuk kembali membuat hati menjadi lebih bersinar.
Kenapa sebenarnya kita musti terus-menerus membersihkan hati kita? Sederhananya karena hati kita mudah sekali tertutupi awan-awan pekat kehidupan, tetapi yang lebih penting sesungguhnya hanya dengan hati yang jernih kita baru bisa melihat dunia, hanya dengan hati yang bening kita bisa mendengar nasehat kehidupan, hanya dengan hati yang jernih kita bisa tersentuh dan hanya dengan hati yang bening kita mudah merasakan lembutnya kasih sayang. Dengan hati yang bisa melihat dunia, kita akan menjadi manusia yang lebih utuh, mampu bertindak dengan penuh ketenangan, mudah melihat peluang, suka berbagi dan menjadikan diri kita lebih berarti. Bukan hanya berarti untuk diri sendiri, tetapi juga kepada sesama. Sekarang Anda bisa memilih, menjadikan hati Anda lebih jernih, lebih bening dan bersinar, atau membiarkannya tertutup awan-awan keburukan dan pesimisme. Silahkan Anda tentukan sendiri. Monggo Lanjut...