Senin, 19 Desember 2011

Pasrah, Sampah dan Banjir

Beberapa waktu yang lalu, tatkala sudah selesai mencuci baju dan siap untuk di jemur. Hmmm ternyata cuaca siang itu belum bersahabat dengan saya, karena baru beberapa baju yang saya jemur, gerimis sudah datang dengan malu-malu. Ahhhh padahal siang itu saya sudah ada janji, tidak mungkin saya harus berdiam diri menuggu gerimis ini. Baju tetap saya jemur dan saya pasrahkan padaNya, kalau mau hujan ya hujan saja kalau memang kering ya alhamdulillah. Tiba-tiba saya memasrahkan urusan yang sebenarnya masih berada pada kendali saya kepadaNya. Sore hari setelah saya balik ke kos ternyata baju sudah kering, alhamdullillah. Di waktu yang lain hal sama terulang kembali, tetapi saya kurang beruntung tatkala sore hari saya pulang, ternyata semua jemuran saya basah kuyup. Alamat saya musti membilasnya kembali, ya sudah.
Kalau mengingat-ingat kejadian ini terngiang-ngiang di kepala saya betapa hari ini masyarakat kita melakukan hal yang sama, seperti yang saya lakukan, pasrah bukan pada tempatnya. Tatkala hari ini betapa mudahnya kita melihat berserakannya kertas tiket di pintu tol, sebagian masyarakat kita juga dengan mudah membuang sampah ke selokan, sungai juga badan air yang lain. Seolah-olah mereka ingin berkata begini kepada Tuhan “Tuhan ini sampah aku pasrahkan kepadaMu, tolong diurus ya Tuhan. Engkau Maha Baik, Maha Segalanya, pasti Engkau bisa menyelesaikan perkara sampah ini”. Sampah-sampah yang dibuang selama ini akhirnya menjadi apa? Apakah Tuhan benar- benar “mengurusnya” seperti yang di harapkan masyarakat? Apa yang terjadi di hampir seluruh kota besar di Indonesia adalah hasil jerih payah “kepasrahan” masyarakat. Begitu mudahnya mereka mengalih tugaskan Tuhan hanya untuk mengurusi sampah dari hasil sisa-sisa aktivitas mereka. Sehingga tatkala Tuhan “gagal” menjalankan “tugasNya” dengan hadirnya banjir di Jakarta, Bandung, Semarang dan Kota-kota yang lain maka mari beramai-ramai menyalahkanNya. Begitu kah? Hmmmmmm. Inilah pasrah pada tempat yang salah. Karena sebenarnya tentang sampah ini masih berada pada wilayah jangkauan manusia bukan langsung diserahkan kepada Tuhan. Jangan-jangan mereka itu adalah saya, Anda dan kita semua?
Terus apa yang bisa kita lakukan hari ini? Haruskah setiap rumah menerapkan pembuatan pupuk kompos untuk sampah organik? Tidak usah terlalu muluk-muluk, minimal mulai hari ini jangan pernah satu kalipun kita membuah sampah tidak apda tempatnya, terutama di tempat-tempat umum seperti stasiun, terminal, juga moda transportasi seperti kereta api. Kalau memang kita memiliki sampah simpanlah terlebih dahulu, baru buang tatkala ketemu tempat sampah. Yang kedua jangan pernah sekalipun kita membuang sampah di selokan, sungai dan badan air yang lain seperti situ, danau, juga laut. Kalau memang akhirnya masih banyak orang yang tidak peduli pada lingkungan, minimal kita tidak menjadi bagian dari mereka yang memasrahkan urusan sampah dan banjir kepadaNya. Wallahu a’lam Monggo Lanjut...

Integritas

Tepat hari Minggu kemarin, saya kebetulan memiliki janji berjumpa dengan kawan lama saya semasa kuliah dulu di UNDIP Semarang, Mas Decky. Seorang kawan lama yang menyenangkan. Kami berjanji ketemu di Stasiun UI Depok. Tepat setelah menunggu KRL Ekonomi hampir 1 jam lamanya di Stasiun Bogor akhirnya setelah perjalanan hampir 30 menit lebih saya tiba di Stasiun UI. Ternyata setelah meraba saku jaket tiket kereta yang saya miliki masih utuh, tidak ada petugas yang datang untuk untuk melubangi tiket seperti biasanya atau memang kalau di KRL Ekonomi tidak ada petugas yang melubangi? Entahlah saya tidak tahu. Tatkala saya bertemu dengan kawan lama saya ini, saya sampaikan kepadanya “bro sebenarnya saya bisa saja neh ga usah beli tiket lagi, ne tiket masih utuh” kata saya sambil menunjukkan tiket kepadanya. “ wah boleh tu bro, tapi emangnya ente mau?” tanyanya. “nah makanya ane bilang, sebenarnya ane bisa, tapi ga ahh. Ini bukan perkara uang Rp. 2000,- tapi ini perkara integritas” kata saya.
Kali ini saya tidak ingin menyoroti kinerja dari salah satu BUMN di negeri ini, karena memang saya tidak memiliki kapasitas itu. Tetapi pada tulisan ini saya ingin kita lebih melihat kedalam diri kita masing-masing. Di tengah-tengah kehidupan masyarakat kita yang instan dan cepat, juga karena pelayanan umum yang belum layak, termasuk transportasi umum, kita akhirnya ikut-ikutan menjadi pengen cepat, tidak jujur dan melupakan prinsip-prinsip yang kita yakini kebenarannya. Karena males ikut sidang akhirnya kita “memilih” “sidang” di tempat tatkala ditilang sama oknum polantas. Yang sesungguhnya hal itulah yang menjadi pupuk penyubur tindakan ilegal di aparat penegak hukum kita. Karena tidak belajar akhirnya kita memilih menyontek tatkala ujian, toh guru atau dosennya juga tidak tahu, kita mementingkan nilai, memang nilai itu penting tetapi bernilai itu lebih penting. Karena tidak ada polisi yang berjaga dan betapa macetnya lalulintas, kita menjadi terbiasa untuk tetap melaju meski lampu merah sedang menyala. Karena ijin usaha yang rumit diperoleh akhinya kita lewat jalan belakang. Karena SIM “pasti” ditolak kalau ujian secara ”benar-benar” akhirnya kita memilih untuk memberikan pelicin “uang kesehatan” agar kita memperoleh SIM. Juga karena karena yang lain. Kita sudah terlalu lelah kalau harus mengingat bahwa hari ini prinsip-prinspip kejujuran sudah benar-benar terkuras habis dalam kehidupan masyarakat kita. Bahkan sering saya menemukan tatkala berbelanja di warung atau di sebuah toko dan meminta nota, pasti di tawari nota kosong atau mau di isi berapa pak? Sungguh ironis sekali kejujuran di negeri ini, kita sudah terdidik menjadi generasi mendapatkan bahwa kejujuran itu menjadi sebuah ketidak wajaran, sesuatu yang asing, tempat yang jauh dan tak terjangkau. Pada akhirnya kita seringkali memilih untuk tidak jujur.
Sebaiknya mari kita tidak saling menghujat, kita mulai dari diri kita masing-masing untuk membenahinya. Tidak usah di mulai dari sesuatu yang besar, mulailah dari apa yang kita bisa dan kita mampu. Semoga kejujuran-kejujuran kecil yang kita lakukan akan berdampak baik untuk bangsa dan masyarakat kita kedepan, bisa jadi bukan kita yang menikmatinya tetapi anak cucu kita nanti.
Sore itu, setelah selesai berdiskusi, ngobrol ngalor ngidul dengan kawan lama saya tadi, saya di antar kembali ke Stasiun UI Depok. Tiket KRL Ekonomi masih utuh di saku jaket. Tetapi saya memilih membeli tiket baru comuterline untuk perjalanan pulang ke Bogor. Astagfirullah. Monggo Lanjut...

Selasa, 13 Desember 2011

Santun dan Sigap Membantu

Suatu kali ada seorang pemuda yang sedang terburu-buru ingin mengikuti suatu acara di Jln Sriwijaya, Kota Semarang. Pemuda ini memacu kendaraannya agak terburu karena sudah ada janji dengan rekannya. Tetapi naas, baru sampai di daerah Jatingaleh kawasan PLN Jateng, ternyata terasa ada susuatu yang tidak nyaman dengan ban belakang sepeda motor yang ia kendarai, setelah dia cek ternyata benar, ban belakang motornya bocor. Setelah agak dipaksa untuk jalan beberapa saat, akhirnya ketemu juga tukang tambal ban di Kawasan Kesatrian.
Setelah ngobrol sebentar dengan tukang tambal ban, di serahkanlah sepenuhnya urusan tambal menambal ban tersebut pada ahlinya. Pemuda tersebut akhirnya duduk di kursi dan menunggu proses tambal ban. Beberapa menit kemudian pemuda yang sedang mengamati proses penambalan ban motornya ini dibuat bingung oleh perilaku tukang tambal ban. Tukang tambal ban ini mutar-muter, kedepan belakang, berulang kali membongkar tempat peralatan kerjanya. Akhirnya dikarenakan melihat hal yang sepertinya tidak wajar tersebut pemuda ini berdiri dan bertanya kepada tukang tambal ban. “ada apa mas?” tanyanya. “ini mas, ban luarnya ga bisa dibuka, bagaimana saya bisa menambal ban dalamnya kalau ban luarnya saja ga bisa dibuka?” jawab tukang tambal ban. Menurut Anda bagaimana kira-kira kelanjutan kisah diatas? Kalau saya yang jadi pemuda tadi mungkin saya akan sedikit menggerutu sambil memaki tukang tambal ban.”gimana seh, ini kan pekerjaan Anda setiap hari? Masa membuka ban luar saja tidak bisa? Niat ga sih jadi tukang tambal ban?” haha. Itu kalau saya, atau mungkin juga Anda kali ya? Hehe
Tetapi Anda ingin tahu apa yang dilakukan sang pemuda pagi itu, dengan janji yang terburu-buru? Pemuda itu bangkit dari tempat duduknya, meletakkan tas punggungnya, melingkis lengan baju panjangnya dan berkata kepada tukang tambal ban. “coba sini mas saya bantu” begitu santun dan mulia perilaku pemuda ini. Setelah beberapa lama berusaha dan lumayan berkeringat, akhirnya ban luar motor bisa dibuka juga. Dan urusan menambal kembali diserahkan kepada tukang tambal ban.
Saudaraku yang budiman, tidak banyak hari ini kita menemui seorang pemuda yang berakhlak begitu santun dan mulia. Apalagi dalam kisah ini sang pemuda juga sedang ada janji dan terburu-buru. Saya yakin sebagian besar dari kita bisa jadi memilih meluapkan emosi negatif dibanding mengendalikannya dan membantu kesulitan sang penambal ban. Tapi dari kisah ini kita belajar bahwa meluapkan emosi dalam bentuk sebuah kemarahan sebenarnya bukan sebuah solusi yang menjawab permasalahan yang kita hadapi. Tetapi tatkala kita mampu mengelola emosi negatif yang kita miliki dengan menarik nafas dalam, berkata dengan tenang dan halus, dan malah berusaha membantu kesulitan yang dihadapi oleh tukang tambal ban, ternyata itulah solusi dari permasalahan yang kita hadapi.
Ini mungkin hanya satu buah cerita ringan yang sesungguhnya bisa jadi masing-masing kita pernah mengalaminya dalam versi yang berbeda. Tatkala tuntutan pekerjaan datang tanpa henti, tetapi tiba-tiba kita disela oleh masalah sepele tetapi bikin kesel, tiba-tiba pula kita kehilangan kebijaksanaan dan berubah menjadi “serigala-serigala” baru yang siap menerkam mangsanya. Padahal sebenarnya perilaku tersebut bukanlah sebuah jalan keluar atas masalah yang sedang mendera kita. Bila kita mau sedikit berbenah, merubah pola pikir, mengendalikan emosi yang kita miliki niscaya malah kita telah berhasil menemukan sebuah pencerahan baru bagi kehidupan kita, dan sesungguhnya semua yang kita lakukan tadi adalah demi kebaikan diri kita sendiri. Monggo Lanjut...

Senin, 12 Desember 2011

BAB “iklhas”

Jangan ada yang salah sangka bahwa tulisan BAB diatas itu, Anda baca bab seperti bab 1, bab 2 dalam pengerjaan skripsi. Tetapi BAB diatas mesti anda baca Be A Be, hehe. Ya itu, buang air besar. Gimana ceritanya? Jangan mikir jijik atau jorok dulu dah. Begini, setelah menyantap snak berupa martabak, kentang goreng, dll, saya yang pertama kali datang ke aceh waktu itu, diajak lagi jalan-jalan kuliner malam oleh seorang sahabat disana. Untuk “mengganjal” perut malam itu akhirnya dibawalah saya menuju sebuah warung khas nasi goreng, saya pesan nasi goreng kambing muda. Wah enak juga rasanya, tambah dadar, krupuk melinjo dan jus belimbing, hmmmm mantap dah. Haha, jangan pada ngiri ya.
Pagi harinya di penginapan, kami sudah disuguhkan nasi goreng “lagi”, tambah tahu goreng, kerupuk “lagi”, kopi, dan semangka plus pepaya. Waduh ini sarapan apa makan siang? Hehe. Tapi, nah ini yang menarik, beberapa menit kemudian percampuran antara makanan-makanan yang kaya rempah itu berujung pada rasa yang tidak nyaman pada perut saya. Jangan pada bilang sukurin ya, hmmmmm. Jadilah saya pagi itu musti buru-buru “berlari” kekamar penginapan untuk menuntaskan “kewajiban” saya, persis setelah saya menyantap sarapan pagi itu.
Akhirnya semua-muanya saya keluarkan, tak perlu Anda bayangkan betapa leganya saya waktu itu. Dan tak pernah sekalipun saya menengok kebawah, yang mana hasil dari nasi goreng kambing muda ya? Ahhh jangan-jangan belum “habis” benar. Yang mana “sisa” dadar ya? Hmmm jangan-jangan belum terserap dengan baik dalam perut? Ahhhh tak pernah sedetik pun terbersit dalam benak saya untuk berpikiran seperti itu. Apakah ada di antara Anda sekalian yang pernah melakukannya? Setelah mendapatkan kelegaan itu, dengan ragu-ragu Anda mengecek keberadaaan sisa-sisa makanan Anda? Saya yakin Anda semua akan mengatakan TIDAK. Ya kan?
Dalam perenungan pagi itu saya tersadar betapa hari itu saya musti belajar tentang keikhlasan dari proses BAB. Inilah yang saya sebut BAB ikhlas. Kenapa begitu? Dari sana saya belajar bahwa tatkala kita sudah mengeluarkan sesuatu dari dalam diri kita, tak perlu lagilah kita melihat-melihat kembali, memikirkan apa yang sudah kita tunaikan. Sudah, relakan saja. Mungkin ini juga tentang amal baik yang kita lakukan, tentang kerja-kerja kita. Saya pagi itu belajar ikhlas untuk tidak selalu melihat kebelakang yang seolah-olah bahwa hal itu menunjukkan kita sudah banyak berbuat dan berbuat banyak, padahal yang terjadi adalah masih banyak bangunan kebaikan yang musti kita kerjakan, masih banyak amal soleh yang harus di tunaikan. Hari ini tugas kita adalah terus bekerja keras untuk kebaikan kemanusiaan tanpa perlu melihat apakah orang lain akan memberikan penghargaan atau tidak. Hari ini tanggungjawab kita adalah berbuat yang terbaik untuk masyarakat tanpa perlu melihat apakah masyarakat akan mengelu-elukan kita atau malah mencemooh kita. Kita hanya perlu bekerja dan biarlah DIA saja yang menilai dan “menggaji” kita dengan penuh kepantasan dari pekerjaan yang kita lakukan. Karena memang keikhlasan lah yang akhirya mengantarkan kita pada syurgaNya bukan yang lain.
Wallahua’lam Monggo Lanjut...

Jumat, 09 Desember 2011

Bertemu Dengan “Sang Pemahat”

Dalam film Rambo III yang bercerita betapa “hebatnya” Rambo “mengahajar” pasukan Rusia di Afghanistan ada sebuah dialog yang menarik perhatian saya. Diawal film Jhon Rambo yang di perankan oleh Silvestre Stallone sudah enggan berperang dan keluar dari kancah peperangan dan memilih tinggal di sebuah kuil dan ikut bekerja dalam proyek pembangunan kuil. Pada saat itulah mantan Komandan atau Kaptennya mendatangi Rambo dan mengajaknya kembali berperang di Afghanistan. Dalam dialog itulah terselip sebuah cerita menarik bagi saya. Dahulu kala ada seorang pemahat yang sangat terkenal dan hasil pahatannya sangat bagus. Suatu ketika Sang Pemahat ini kedatangan seorang tamu yang sangat mengagumi hasil pahatan Sang Pemahat. “hasil pahatan anda sangat bagus sekali” kata sang tamu. “bagaimana Anda melakukannya?” lanjutnya. “ohh maaf sebenarnya bukan saya yang menciptakan sebuah pahatan yang bagus, tetapi dari awalnya memang saya menemukan sebuah bahan yang bagus, tugas saya hanya menyingkirkan srempilan-srempilan kecil yang ada di sekeliling bahan pahatan itu, jadi bukan saya yang membuat sebuah pahatan bagus, tetapi dirinya sendirilah yang membuatnya” jawab sang pemahat.
Anda penasaran dengan lanjutan dialog di film tersebut? Mohon maaf saya belum bisa menceritakannya dengan detail disini, saran saya adalah silahkan anda menontonnya sendiri, hehe. Tetapi yang ingin saya bagi di tulisan ini adalah sesungguhnya setiap kita adalah bahan-bahan pahatan yang memang sudah memiliki potensi yang luar biasa dari sananya, memiliki keunikan yang khas yang di anugerahkan oleh Tuhan, ya setiap manusia, setiap kita pasti memiliki kekhasan yang unik yang tidak dimiliki oleh orang lain. Pertanyaannya adalah apakah hingga hari ini kita sudah mengetahui keunikan potensi yang kita miliki? Dan apakah kita sudah menyingkirkan srempilan-srempilan kecil di pinggir-pinggirnya kemudian kita poles sehingga potensi terseebut menjadi sebuah daya ledak yang luar biasa bila kita gunakan dalam bekerja dan berkarya bagi kemanusiaan.
Tatkala kita hingga hari ini masih mengerjakan aktivitas atau pekerjaan yang bisa jadi bukan potensi terbaik yang kita miliki maka tunggulah saja masa bosan itu, pasti akan kau temui masa malas itu, pengen keluar dari pekerjaan akan menantimu. Tetapi bila memang hinga hari ini Anda masih dalam proses pencarian apa potensi terbaik yang Anda miliki, maka minimal ada 2 hal yang musti Anda lakukan. Yang pertama adalah Anda harus segera menemukan guru “Sang Pemahat” yang biasanya memang lebih tahu apa potensi terbaik yang Anda miliki. Segera temui dia, sampaikan minat Anda kepadanya, ceritakan mimpi-mimpi apa yang ingin Anda capai, tuturkan harapan-harapan besar apa yang ingin Anda raih. Niscaya “ Sang Pemahat” akan memberikan jalan keluar bagi Anda. Kenapa Anda butuh guru? Coba jawab pertanyaan saya dulu, kenapa Muhammad Ali, seorang petin ju legendaris memiliki pelatih? Padahal bila Sang Pelatih bertanding dengan Muhammad Ali, Sang Pelatih pastilah kalah. Kenapa? Jawab sendiri ya.
Yang kedua yang harus segera Anda lakukan adalah anda musti segera menebar benih-benih kerja keras pada lahan potensi yang Anda miliki sekarang. Karena semakin lama Anda menunggu menanam benih tersebut maka semakin lama juga masa panen yang akan Anda tuai. Tatkala Anda bekerja pada lahan potensi yang Anda senangi niscaya rasa capek itu akan kalah dengan harapan Anda, rasa lelah itu akan musnah dengan impian Anda, rasa kesal itu akan luluh dengan cita-cita yang ingin Anda raih di masa depan.
Sesungguhnya tugas kita hanyalah bekerja keras, memilki sumur kesabaran yang dalam dan tetap berharap pada Tuhan akan masa depan kita. Ya hanya itu.
Finish @terminal 3B Bandara Soetta Jumat yang hebat 9 Desember 2011 pukul 07.44 WIB Monggo Lanjut...

Senin, 21 November 2011

Arti sebuah SMS

Pagi itu saya malas sekali bekerja, sejak bangun tidur tubuh rasanya tidak nyaman, pegal-pegal dan rasa capek yang tidak menghilang. Mungkin karena dihari sebelumnya yang sebenarnya hari libur saya masih harus melakukan kunjungan ke salah satu daerah Beastudi Etos. Dipagi yang malas itu saya baru membuat agenda kerja harian, tetapi belum menyentuh 1 pekerjaan pun. Hingga pukul 9 pagi itu, hp saya berbunyi. Saya mendapat sms dari nomor yang tidak saya kenal. “assalamualaikum, pripun kabar jenengan pak?”. “waalaikumussalam wr wb, maaf ini dengan siapa? Kabar alhamdulillah baik” jawab saya waktu itu. Setelah beberapa saat datanglah sms balasan. “saya fulan Pak, kapan Pak Agus ke Kota Semarang lagi, kami tunggu semangat idealisme dan wejangan2 dari jenengan, hehe”.
Membahagiakan bagi saya tatkala membaca sms balasan tersebut. Ternyata Allah punya caraNya sendiri untuk membuat saya bersemangat kembali, membuat saya menemukan kembali gairah dalam bekerja dan beraktifitas. Saya sangat senang tatkala di saat yang suntuk sperti pagi itu secara tiba-tiba Allah mengirim seorang “malaikat” yang sudah lama tidak bertemu dan sekedar mengirim sms menanyakan kabar dan menyampaikan rasa kangennya kepada saya. Yang membuat saya merasakan kembali betapa kehadiran saya didunia ini memang berarti dan semoga bermanfaat bagi orang lain.
Dari peristiwa pagi itu saya belajar tentang 2 hal. Yang pertama Allah itu punya cara yang unik untuk senantiasa mengingatkan kita tentang tugas dan tanggung jawab kita untuk senantiasa bermanfaat bagi orang lain. Tatkala kita sibuk, suntuk dan capek Allah kirimkan hal-hal lucu dan menarik bagi kita untuk tetap berusaha tersenyum dalam menjalani hidup ini. Tatkala kita lelah, kecewa dan merasa sendirian, Allah kirimkan hiburan dari arah yang tidak kita sangka-sangka. Ya Dia-lah Maha Segala-galanya dalam hidup ini, hanya kepadaNya kita berserah, dan hanya kepadaNya kita berharap.
Yang kedua, yang saya dapatkan pagi itu adalah apabila hari ini kita memliliki rasa rindu, kangen dengan seseorang sahabat, kawan, rekan seperjuangan, ayah, ibu, adik, kakak, teman dalam berorganisasi atau siapapun yang dulu pernah kita kenal maka sampaikanlah rasa kangen itu. Meski hari ini kita sudah terpisah secara jarak dan waktu. Siapa tahu kitalah hari ini yang Dia tunjuk sebagai malaikatnya untuk menghantarkan sebuah senyuman kepada kawan kita di ujung bumiNya yang lain. Jangan menunggu orang lain yang akan menanyakan kabar kita. Tapi semoga kitalah yang lebih mendahului menanyakan kabar mereka, orang-orang yang dahulu pernah mengisi salah satu ruang dalam kehidupan kita. Semoga hubungan baik yang dahulu pernah kita jalin, Allah pertemukan dalam sebuah kehidupan yang lebih baik di akheratnya kelak. Aamiin
Terimakasih untuk seorang “malaikat” di ujung sana yang masih berkenan menanyakan kabar saya di pagi itu. Semoga kita di kumpulkan olehNys di JannahNya kelak. Aamiin Monggo Lanjut...

Selasa, 15 November 2011

Organisasi Membangun Negeri

Tulisan ini saya tujukan untuk para mahasiwa, terutama mahasiswa baru ataupun mahasiswa agak-agak lama. Pada waktu pertama kali masuk kampus dan kawan-kawan di doktrin untuk masuk organisasi, apa yang dulu para trainer atau senior sampaikan? Apa yang Anda pahami? Apakah berorganisasi itu karena kita harus mengembangkan diri, sebagai wahana aktualisasi, mendapatkan jaringan, memperoleh pengalaman, serta belajar softskill? Tidak ada yang salah dari seluruh doktrin yang Anda terima waktu itu dan Anda pahami hingga hari ini. Semuanya benar, bahwa tatkala kita sebagai mahasiswa dan aktif berorganisasi maka kita akan mendapatkan nilai lebih dibanding dengan mahasiswa yang tidak pernah sama sekali terjun di organisasi, apalagi nanti tatkala kita masuk dunia kerja, berorganisai sangat membantu diterima atau ditolaknya lamaran kerja kita, karena salah satu yang ingin di ketahui oleh HRD dalam sesi wawancara adalah pengalaman organisai kita. Kalau Anda tidak percaya sekaranglah saat yang tepat Anda cari alumni dari kampus Anda dan tanyakan kepada mereka apakah benar demikian? Tanyakan juga adakah perbedaan orang yang dulunya aktif di organisasi dan mereka yang tidak pernah berorgansasi di dunia kerja? Silahkan tanyakan pada alumni-alumni kampus Anda. Saya yakin sebagian besar dari para alumni bahkan bisa jadi seluruhnya akan menjawab bila masih diberikan kesempatan, mereka akan mengulangi masa mahasiswa nya dulu dengan ikut organisasi sebanyak-banyaknya tanpa mengorbankan waktu kuliah. Saya yakin itu.
Tetapi apakah seluruh alasan diatas tepat? Kita ikut organisasi karena pertimbangan bahwa dengan mengikuti organisasi itu akan mengasah softskill kita, akan membentuk jiwa kepemimpinan kita, akan mengajarkan cara berkomunikasi yang baik? Kalau alasan itu yang kita gunakan, maka artinya tatkala kita sudah mahir memanajemen waktu, kita sudah lihai bekerjasama, kita sudah pandai memimpin diri sendiri dan orang lain berarti kita tidak butuh berorganisasi lagi? Kenapa? Karena kita sudah memiliki softskill yang memadai dalam bekerja, kita sudah memiliki kecakapan dalam berkomunikasi, buat apa kita belajar lagi melalui organisasi? Dan bukankah hari ini hal ini yang banyak terjadi di kalangan mahasiswa-mahasiswa tingkat akhir? Karena merasa harus fokus ke skripsi, akhirnya mereka meninggalkan organisasi? Kita harus berkarya di bidang yang lain, dunia kerja sudah menanti kita, itu sebagian alasan lain yang di kemukakan.
Sesungguhnya, berorganisasi di kampus mustinya bukan sekedar tentang diri kita semata, setelah kita mendapatkan banyak hal dari organisasi dan kita puas, akhirnya patut kita tinggalkan dunia organisasi dan ingin segera beralih ke dunina kerja. Sungguh, betapa egoisnya diri kita, seolah-seolah kita seperti ibarat kacang yang lupa pada kulitnya. Kawan, berorganiasi adalah perkara idealisme, apakah tatkala kita melihat kondisi bangsa yang hari ini masih jauh dari apa yang kita harapkan, terus kita berpangku tangan? Cukup puas dengan IPK 3,5? Bahwa IPK yang kita miliki itu sudah menjawab apa kontribusi bagi perbaikan bangsa ini? Mari kita jawab dengan hati nurani kita masing-masing. Bukan berarti IPK tidak penting, IPK sangat penting tetapi pertanyaan saya adalah, apakah dengan modal IPK saja kita merasa sudah melakukan yang berguna dan terbaik bagi bangsa ini?
Hari ini, bangsa kita dihadapkan pada banyak permasalahan, dan rasanya tidak cukup bila kita hanya menjadi bagian dari orang-orang yang menggerutu, meratapi atau bahkan mengutuk kondisi bangsa ini. Kita harus memulai membangun bangsa ini dari diri kita masing-masing. Jadilah mahasiswa yang produktif, jangan hanya bangga dengan IPK nya saja. Tetapi juga harus melihat hal apa yang sudah kita berikan bagi bangsa ini. Kembali ke topik awal kita, kenapa dengan organisasi? Organisasi mustinya bisa menjadi wadah kita dalam membangun bangsa, mengembalikan kejayaan negeri ini. Apakah bisa? Sangat mungkin bisa. Mahasiswa adalah motor penggerak masyarakat, hari ini betapa banyak penelitian yang kita lakukan yang akhirnya berbuah sesuatu yang bermanfat bagi masyarakat? Dengan organisasilah harusnya kita membangun masyarakat, menyadarkan mereka, mengajak mereka untuk bekerja keras, membersamai mereka mengawal kehidupan yang bermartabat dalam negara ini. Apakah tugas ini ringan? Tentu saja berat. Tetapi bila idealisme dalam organisasi senantiasa ada dalam dada kita, maka yang berat akan terasa ringan, tugas kaderisasi adalah menyadarkan mahasiswa-mahasiswa baru bahwa bangsa ini membutuhkan mereka, tugas humas adalah mengajak masyarakat untuk terus aktif bergerak bersama memperbaiki bangsa ini, tugas pengabdian masyarakat adalah membersamai mereka dalam merancang dan membangun kepercayaan diri mereka bahwa masyarakat kita bisa menjadi masyarakat yang mandiri dan berdaya.
Sehingga apabila suatu ketika rasa capek itu datang dalam mengelola organisasi kita, ingatlah bahwa tujuan kita berorganisasi bukan hanya sekedar untuk diri kita tetapi ada masyarakat yang sedang menunggu karya-karya besar kita. Ada jutaan rakyat miskin yang menanti uluran tangan kita, mereka terlalu lelah menunggu. Mari singsingkan baju kita, jadikan organisai-organisasi kampus sebagai bagian dalam membangun kembali masyarakat kita. Bila suatu ketika kita berselisih dengan kawan seorganisasi kampus, ingatkan untuk apa kita bertikai, bila memang kita memiliki tujuan yang sama yakni mengabdi kepada mereka, masyarakat kita. Sehingga akhirnya tidak ada kata berhenti dalam berorgansasi, baik untuk mahasiswa yang sedang mengerjakan Skripsi maupun bagi mantan-mantan aktivis kampus, ladang amal senantiasa terbuka dimanapun bumi di pijak. Karena sesungguhnya bukan karena rusaknya negeri ini kita patut menangis, tetapi apa yang sudah kita lakukan tatkala melihat negeri kita ini masih belum baik? Jangan juga tiba-tiba kita ikut berbangga tatkala akhirnya negara kita menang dalam seagames tahun ini, tetapi apa yang sudah kita sumbangsihkan bagi kejayaan bangsa ini? Jangan muluk-muluk, mari kita mulai dari diri pribadi kita masing-masing, menjadikan organsiasi kampus sebagai ladang untuk beramal, berkontribsui yang terbaik bagi bangsa ini. Kalaupun akhirnya tiba-tiba kita menjadi anggun dalam berbicara, santun dalam berperilaku, bijak dalam menyikapi masalah dan berwibawa tatkala memimpin, pandang itu sebagai hadiah dari-Nya atas usaha yang selama ini kita lakukan untuk masyarakat dan bangsa ini melalui organisasi kita. Hadiah awalan sebelum hadiah yang sesungguhnya di akherat kelak.
Cc: Etoser Nusantara, jangan pernah berhenti berjuang saudaraku.
Alhamdulillah selesai Selasa, 15 November 2011 Pukul 00:09 WIB Monggo Lanjut...

Senin, 14 November 2011

Untuk Indonesia Yang Lebih Baik

Cukup sore waktu itu, dinginnya ruangan AC tak membuat saya segera ingin mangakhiri hari itu dan segera pulang ke kos. Bukan karena pekerjaan yang masih menumpuk yang harus segera diselesaikan, tetapi ada satu buah janji yang musti saya tunaikan. Yakni ada seorang adik yang ingin berbagi cerita di senja itu. Setelah saya tunaikan shalat magrib berjamaah di Masjid kantor, akhinya langung saya menuju ke komputer yang memang internetnya tidak saya matikan.
Setelah beberapa saat menunggu akhirnya yang di tunggu muncul juga, memang hari ini jejaring sosial menawarkarn fitur yang lumayan lengkap. Dan lewat salah satu jejaring sosial itulah kami memulai pembicaraan di senja itu. Awalnya kami memang hanya bertanya kabar dan cerita perkembangan-perkembangan terbaru soal diri masing-masing, lagi sibuk apa, dll. Akhirnya sesi sharing yang sebenarnya di mulai, yakni tentang kondisi organisasinya yang sedang kalut karena banyak konflik dengan rekan sejawat. Ya memang konflik internal di organisasi kadang kala lebih rumit untuk di selesaikan dibandingkan bila organisasi itu dihadapkan pada konflik eksternal tetapi internalnya solid. Benang merah dari diskusi senja itu adalah dia akan berusaha mencari solusi dari permasalahan yang dihadapinya dan pantang menyerah. Karena bagi dia organisasi ini adalah ladang untuk memberikan sumbangsihnya. Tetapi yang menarik bagi saya adalah statemennya yang terakhir. “ saya teringat nasehat mas dulu waktu di Bandungan” “nasehat yang mana?” Tanya saya. “Sebenarnya hidup itu untuk apa? Apakah siklus kehidupan kita hanya kuliah, kerja , nikah dan mati? Apakah hanya seperti itu? Dan harusnya memang hidup musti bermanfaat bagi orang lain.”
Tersentak saya mendengar uraian darinya. Dan ternyata kata-kata itu dulu keluar dari mulut saya ini. Saya menjadi bertanya-tanya kembali, ya sebenarnya untuk apa kita hidup ini? Mengejar kebahagiaan? Kebahagiaan yang seperti apa? Jangan-jangan siklus yang ada adalah kuliah, kerja, nikah , punya anak dan mati? Hanya itu? Menyedihkan sekali sepertinya, kalau kehidupan yang luar biasa ini hanya kita gunakan untuk keegoisan diri kita sendiri. Mementingkan kebahagiaan diri sendiri. Hanya peduli dengan kecemerlangan karir pribadi, menghalalkan segala cara, melakukan apapun demi cita-cita terwujud tanpa memperhatikan norma dan nilai serta prinsip yang kita pegang. Memang awalnya seperti sangat membahagiakan, kita memilki apa yang kita inginkan, menikmati waktu santai, mengendarai mobil yang kita senangi, liburan ketempat yang sukai, dan menikmati senja di rumah bersama keluarga.
Tetapi apakah benar hal itu adalah kebahagiaan yang hakiki? Yang benar-benar kita inginkan. Menikmati waktu untuk diri sendiri? Ataukah sebenarnya itu hanyalah kesenangan belaka? Bukan kebahagiaan seperti yang kita idam-idamkan. Coba bertanya saja pada hati kecil kita masing-masing. Kebahagiaan yang sejati adalah bagaimana bila kita mampu membagi kebahagiaan yang kita miliki kepada orang-orang di sekitar kita, kepada kelurga kita, kepada masyarakat di sekitar kita. Sehingga kehadiran kita akan senatiasa di harapkan oleh mereka yang menyayangi kita. Kata kuncinya adalah kontribusi. Kita harus membagi apa yang kita miliki hari ini kepada orang-orang di sekitar kita, masyarakat kita. Janganlah kita belajar menjadi orang yang hanya peduli dengan kebahagiaan bagi diri kita sendiri. Seperti merokok pada tempat-tempat umum, di kereta, di bus, angkot yang sesungguhnya itu adalah menunjukkan betapa egoisnya kita, demi kebahagiaan kita, kita mengorbankan kesehatan orang lain.
Berkontribusi tidak musti menunggu kita memiliki segalanya tetapi mari kita mulai dari apa yang kita bisa, apa yang kita mampu. Kalau hari ini kita memiliki ilmu ya berkontribusilah dengan ilmu yang kita milki, kalau hari ini kita memiliki senyum yang indah ya marilah mulai hari ini, kita menjadi pribadi yang murah senyum. Karena masyarakat kita sudah bosan dengan wajah-wajah pembohong dari para pemimpin kita. Bibir tersungging tapi sebenarnya hati tidak tersenyum. Mari kita tebarkan senyum terbaik bila bertemu dengan masyarakat kita. Bila hari ini yang kita miliki adalah harta maka silahkan sisihkan sebagian harta yang kita miliki dan sumbangkan kepada yang berhak. Kalau memang Anda merasa harta itu perlu di berdayakan, ya serahkan saja pada lembaga amil zakat yang Anda percayai.
Sesungguhnya bila hari ini kita masih mengutuk apa yang terjadi di Negara ini mungkin bisa jadi kita harusnya menjadi salah satu bagian yang di kutuk tersebut, karena bisa jadi kita masih menjadi pribadi-pribadi egois yang hanya mementingkan dirinya sendiri tanpa memperdulikan kepentiangn orang lain. So dari pada mengutuk kegelapan marilah kita menyalakan lilin cahaya. Tatkala masing-masing kita belajar menjadi penerang bagi gelapnya zaman ini makan yakinlah bahwa sebentar lagi bangsa ini akan menjadi sebuah bangsa yang besar karena lahirnya manusia-manusia baru yang peduli kepada masyarakatnya, yang tanggap terhadap permasalahan yang di hadapi mereka. Mari kita mulai dari apa yang kita miliki dan dari apa yang kita sanggupi. Itu saja. Terutama untuk para pemuda, karena di tanganmulah masa depan bangsa ini. Jangan biarkan hari-harimu habis unyuk kesenanganmu sendiri, gunakan waktumu untuk belajar, jangan hanya bejar dari bukumu, tapi belajarlah dari buku kehidupan, belajarlah dari masyarakatmu bahwa mereka hari ini membutuhkanmu. Mereka sudah lelah menunggu kesejahteraan yang di janjikan pemerintah, kini bukan saatnya lagi kita menggerutu , mari kita bergerak bersama, memperbaiki apa yang kita bisa, menyongsong sebuah fajar baru untuk negeri ini. Indonesia. Mari bekerja untuk Indonesia yang lebih baik.
Terimakasih untuk Bening Laksa Intan atas inspirasi berharganya.
Cc: Dewi Srihartatik, belajarlah untuk menjadi pribadi dewasa
To Etoser Nusantara: jangan pernah lelah belajar berkontribusi bagi masyarakat kita, mereka menunggu karya besar kawan-kawan. Monggo Lanjut...

Menghadapi Rasa Malas

Hanya sekedar sharing saja, metode ini yang saya uji cobakan pada diri saya sendiri dan memang beberapa kali berhasil. Tetapi bisa jadi metode ini tidak cocok untuk Anda. Karena masiing-masing kita adalah manusia-manusia unik yang memiliki perbedaaan cara berpikir dan pasti juga memiliki cara yang berbeda pula dalam menghadapi rasa malas.
Salah satu hal yang tidak menjadi kegemaran saya (bahasa halusnya malas, hehe) semenjak pindah ke Bogor adalah mencuci baju. Karena sewaktu di Semarang saya lebih banyak “memberdayakan” ekonomi masyarakat (beuhhhh) dengan luandry. Dan setelah di Bogor saya juga mencoba laundry dekat kos. Tapi aduh, kecewa berat saya dengan hasilnya. Wangi sih boleh tapi sangat-sangat tidak rapi, lipatan bajunya tidak tepat. Selain itu harganya 2 kali lebih mahal dari pada di Semarang, dan mungkin faktor yang terakhir ini yang membuat saya semakin tidak menggemari laundry di Bogor ( setidaknya laundry yang deket kos-kos an).
Nah seperti Sabtu siang ini, saya masih malas-malasan untuk mencuci baju saya, padahal seluruh baju kerja kayake sudah habis. Dan hari Minggu besok saya sudah ada agenda. Harusnya memang pagi tadi saya musti segera mencuci baju-baju yang menumpuk ini. Tapi saya termasuk orang yang moody, ahh nunggu nanti lah kalo saya sudah ada semangat mencuci. Saturday adalah lazy day. Hari bermalas-malasan, tidur-tiduran di kasur sambil memegang romote tivi. Tambah ngemil makanan ringan, asyik banget dah, hahaha. Tapi ternyata yang di tunggu-tunggu yakni mood semangat tak kunjung datang, padahal cucian musti segera di tunaikan. Terus piye jal?
Dengan langkah gontai saya ambil setumpuk baju itu dan saya bawa ke tempat mencuci, saya ambil deterjen, masukin baju ke ember kasih deterjen siram air. Artinya saya sedang merendam baju tersebut beberapa saat. Mengucek baju juga adalah hal yang tidak menyenangkan buat saya, huffttthh. Tapi setelah mengucek beberapa saaat dan melihat baju yang bersih, memelihat hasil baju di jemuran, ahhhh, usaha saya tidak sia-sia. Panas juga sangat mendukung. Dan apa yang terjadi? Tanpa mengenal lelah habislah seluruh baju kotor itu dan menjadi baju besih di jemuran. Yang saya rasakan adalah ternyata rasa malas itu kalah dengan kerja keras yang saya lakukan. Jadi jangan menunggu semangat untuk memulai sesuatu pekerjaan tapi mulailah bekerja maka semangat itu akan datang padamu. Ga percaya? Coba saja sendiri. Hehe
Sebenarnya ini hanya analagi bagi pekerjaan-pekerjaan kita yang lain. Banyak dari kita (tentu salah satunya saya) suka sekali menunda-nunda pekerjaan dengan alasan menunggu datangnya moody. Tetapi moody tak kunjung datang dan apa yang akhirnya terjadi? Ya, yang ada adalah pekerjaan itu menjadi semakin menumpuk dan tak tersentuh. Karena pekerjaan yang semakin banyak yang ada malah membuat kita semakin malas untuk segera menyelesaikannya dan cenderung untuk membiarkannya. Bila saat ini kita mulai malas mengerjakan sesuatu maka kerjakan saja dulu, dan bila Anda sudah melihat hasilnya nanti, tiba-tib rasa semangat itu akan mendatangi Anda dan memberikan kekuatan serta doronagn bagi Anda untuk terus menyelesaikan pekerjaan itu meskipun rasa capek telah datang. So jangan menunggu Anda termotivasi baru berbuat, tapi berbuatlah maka Anda akan termotivasi.
(Inspirasi dari Satria Hadi Lubis, sukron Ustad) Monggo Lanjut...

Rabu, 09 November 2011

Menjaring Pelangi

Sebenarnya kata-kata diatas adalah status saya di BBM siang ini. Ada teman yang nanya, “ko menjaring pelangi?” “Wah panjang neh, kalau di uraikan”. Memang memasang status yang mengundang tanya dan persepsi adalah hal yang menarik, hehe. Setiap orang berhak punya tafsir terhadap status seseorang, baik status BBM, ngetweet ataupun status FB. Tetapi sebenarnya orang yang membuat statuslah yang paling tahu makna dari status yang ia buat meskipun tafsirnya sekali lagi bukan tafsir tunggal. Karena orang yang membaca juga punya ruang untuk memahami kondisi yang mungkin sedang dialami si pemilkik setatus.
Tetapi mari kita kembali ke “menjaring pelangi”. Dalam persepsi saya begini. Hidup yang kita alami ini akan menjadi menarik bila banyak warna. Ya seperti pelangi. Pelangi akan terlihat indah, mendamaikan orang yang melihatnya bila warna-warna Merah, Jingga, Kuning, Hijau, Biru, Nila dan Ungu atau kalau dulu waktu saya masih SD disingkat mijikuhibiniu tampak semuanya. Saya tidak tahu kalau sekarang sudah ada singkatan baru. Sebenarnya begitu juga kehidupan kita. Kehidupan kita akan sangat mengesankan bila kita menghadapi banyak masalah dan tantangan. Kenapa begitu? Ini yang harus kita rubah sudut pandangnya. Sebenarnya masalah atau saya lebih suka menggunakan kata tantangan adalah sarana pembelajaran dan sarana pendewasaan dalam kehidupan kita. Kata kuncinya adalah semakin banyak kita menghadapi masalah dalam hidup ini harusnya membuat kita semakin dewasa. Meski akhirnya ada juga orang yang sudah banyak menghadapi tantangan hidup tapi masih kekanak-kanakan juga kelakuannya. Ada kan? Tapi kadangkala kalau masalah yang kita hadapi sebagai sebuah ujian, seperti ujian kenaikan kelas atau ujian kelulusan sekolah. Maka semakin banyak kita mengikuti ujian-ujian tersebut harusnya semakin matang pengetahuan dan kepahaman kita tentang segala sesuatu dan semakin naik juga tingkat kita kan?
Begitupun ilmu masalah , semakin kita sering menghadapi masalah. Hal itu akan menuntut kita menjadi lebih dewasa dan lebih mandiri. Mampu menyelesaikannya secara laki-laki (bagi yang laki-laki bukan cowok) atau lebih tepatnya secara dewasa. Dan mampu mencari solusi dari masalah-masalah yang kita hadapi bukan malah lari menghindarinya. Saya selalu teringat kata-kata ini, lebih baik berdarah-darah di masa muda dari pada menangis di masa tua.
Kalau ingin melihat masa depan kita menjadi menarik, penuh warna, banyak cerita yang bisa kita sampaikan ke anak cucu, maka mulai sekarang jangan pernah menjadi orang yang suka lari dari masalah, tetapi begitu bertemu masalah, hadapi, terjang, hancurkan. Biar kita bisa melihat indahnya pelangi di senja kehidupan kita nantinya. Warna yang indah mendamaikan, menentramkan dan dapat kita nikmati bersama pasangan terbaik kita, juga bersama anak cucu kelak di sebuah telaga kebahagiaan. Tantangan hari ini untuk kebahagiaan di masa depan. Monggo Lanjut...

Selasa, 08 November 2011

Kehilangan kecil untuk sesuatu yang besar

Beberapa waktu yang lalu saya cukup di kejutkan dengan adegan menarik di depan saya. Disiang hari yang terik sedang tergelepar sesuatu yang seolah menunjukkan pemberontakan. Menginginkan kebebasan, tidak ingin dalam tekanan. Apa yang saya lihat? Seekor (atau lebih tepatnya ekor saja ga perlu pake se-) Cicak (ekornya) sedang “menari-nari” karena baru saja putus dari anggota badannya yang utuh. Saya sendiri tidak tahu kenapa akhirnya Cicak tersebut pada siang yang panas ini memutuskan ekornya. Tapi dalam sudut pandang yang lebih ideologis maka saya teringat pelajaran biologi entah kapan waktu SMP kelas berapa. Memutuskan ekor adalah salah satu cara mempertahankan hidup yang di lakukan oleh Cicak, seperti mengeluarkan tinta cairan hitam oleh Cumi-cumi bila merasa dalam kondisi bahaya dan diserang musuh. Begitupun siang itu, mungkin sang Cicak merasa dalam kondisi berbahaya dan merasa terancam sehingga Cicak akhirnya mengeluarkan strategi pertahan diri. Mungkin sakit juga kalau harus memutus bagian tubuh yang dimiliki, meskipun nanti akan tumbuh lagi. Tetapi untuk sebuah alasan yang lebih besar yakni mempertahankan hidupnya akhirnya memutus bagian ekor menjadi sebuah pengorbanan yang layak di lakukan oleh Cicak tadi.
Siang itu saya diajari tentang cara hidup oleh seekor Cicak. Bahwa kadangkala kita harus mengorbankan sesuatu yang kita cintai untuk hal yang lebih besar dalam hidup kita. Hari ini bisa jadi Allah “mengambil” apa yang kita milki. Meskipun pada hakikatnya semua yang kita miliki adalah milikNya bukan? Orang tua, keluarga, harta benda, bahkan diri kita sendiri juga adalah milikNya. Kenapa kadangkala Allah mengambil sesuatu yang kita cintai, pasti Dia memiliki alasan yang rasional dan lebih baik. Cuma kita saja yang belum tahu apa hikmah dari semua kehilangan itu. Ini dalam sudut pandang kehilangan sebagai bagian takdir. Allah punya rencana dalam hidup kita yang pasti baik.
Kalau dalam sudut pandang manusianya sendiri bagaimana? Hari ini yang akhirnya kita mengorbankan waktu tidur kita untuk sebuah kerja keras. Hari ini banyak orang yang tetap berderma meskipun mereka dalam keadaan sulit, mereka yang rela menolong meski dalam kondisi kesusahan, mereka yang mau mengorbankan cicta-cita pribadi untuk cita-cita bangsanya. Jelas kita musti memberikan apresiasi pada orang tua kita yang rela begadang sepanjang malam menjaga kita pada waktu kita masih bayi. Kenapa orang –orang itu rela mengorbankan sesuatu yang sebenarnya secara fitrah dicintainya? Tidur nyenyak sepanjang malam, memenuhi kebutuhan sendiri sebelum berderma, menolong dirinya sendiri sebelum menolong orang lain? Pasti ada alasan yang lebih besar mengapa mereka semua rela melakukan hal-hal tersebut. Karena memang kadangkala kita perlu mengorbankan sesuatu yang kita cintai untuk hal-hal besar yang kita harapkan di masa depan. Jadi bukan kehilangannya yang kudu kita perhatikan, tapi untuk apa kita mengorbankan sesuatu yang kita cintai? Untuk hal kecil yang remeh atau untuk masa depan yang lebih baik dan lebih membahagiakan. Monggo Lanjut...

Kamis, 03 November 2011

Menjadi Pendamping Asrama Beastudi Etos

Desember 2008 waktu itu saya sebenarnya sudah di semester 9 menjadi mahasiswa UNDIP. Sudah cukup tua sebenarnya di usia kampus. Saya yang sedang santai di rumah kontrakan bersama teman-teman satu jurusan di Teknik lingkungan undip didatangi oleh senior saya di kampus. “Akh Agus” panggil beliau. “Begini, saya ingin menawarkan kepada antum untuk menjadi pendamping Etos”, “ wah saya ga berani Pak, dengan kelakuan saya yang masih ga bener begini saya ga berani menjadi pendamping etos” jawab saya waktu itu. “ coba cari yang lain deh Pak” saya berkilah agar amanah menjadi pendamping etos di tawarkan kepada yang lain, saya juga menawarkan beberapa teman-teman saya yang lain yang saya yakin punya kompetensi yang lebih baik dari pada saya. “antum itu sudah dipilih dengan berbagai pertimbangan akhi” jawab beliau. “baiklah Pak, beri waktu saya 1 hari untuk berpikir ya Pak” janji saya waktu itu.
Menjadi pendamping etos, mendampingi kegiatan asrama, mendampingi kegiatan pembinaan pekanan sebenarnya adalah pekerjaan yang cukup “sederhana” kalau di tilik dari tugas formalnya. Kita hanya cukup memastikan acara majelis pagi berjalan, meng-absen siapa yang hadir dan memberi teguran kepada yang tidak hadir. Pada kegiatan pembinaan rutin pekanan kita harus memastikan pembicara ada dan hadir, etoser juga hadir. Tiap 1 bulan kita buatkan laporan dari pembinaan asrama dan pembinaan rutin pekanan. Laporan kita kirim ke etos pusat. Selesai sudah tanggung jawab kita secara formal sebgai pendamping asrama etos.
Tetapi apakah benar seperti itu saja tanggung jawab sebagai pendamping? Ternyata belum selsesai. Kita harus memastikan semua etoser bertumbuh dan berkembang dengan baik. Kita musti tahu satu persatu apakah etoser sedang ada masalah pribadi atau tidak, apakah ada etoser yang kekurangan uang untuk biaya kuliah? Ataukah ada etoser yang merasa tidak percaya diri selama di asrama ataupun di kampus? Dan hal itulah yang musti di kerjakan oleh seorang pendamping asrama beastudi etos. Dia tidak hanya memastikan bahwa pembinaan harian asrama dan pembinaan pekanan berjalan dengan baik. Tetapi juga pendamping kudu memastikan setiap etoser beertumbuh dan berkembang dengan optimal. Baik dari sisi akademik, sisi agama, sisi pengembangan diri juga sisi sosial.
Menjadi pendamping etos kalau dianggap sebagai beban akan berat, tetapi bila kita anggap sebagai panggilan jiwa bahwa banyak dari generasi-generasi muda negeri ini yang membutuhkan dampingan, dukungan dan pembinaan maka yang berat akan terasa ringan, yang mengecewakan akan terasa melegakan, tangisan akan berbuah kebahagiaan. Karena ada saja tingkah laku etoser yang membuat kita menangis, meneteskan air mata, tertawa, sedih, tersenyum, kecewa juga bangga. Kadangkala menjadi pendamping kita dituntut untuk profesional. Yang tidak ikut pembinaan kita kenai etos counter, di potong uang saku mereka, tetapi kadangkala rasa sayang kita kepada mereka menghalanginya. Satu sisi kita harus menjadi komandan bagi etoser, satu saat kita dituntut menjadi sahabat, satu sisi menjadi kakak, disaat yang lain menjadi orang tua, dan waktu yang lain kita di harapkan menjadi seorang guru. Menarik bukan?
Kebahagiaan tertinggi bagi kami para pendamping adalah tatkala kami melihat adik-adik kami yang dulunya gagap saat berbicara tiba-tiba bisa menjadi seorang ketua di lembaga dakwah kampusnya, kami bahagia saat kami melihat seorang etoser yang tiba-tiba membawa pulang medali emas dari PIMNAS. Kami sangat banggga tatkala kami melihat seorang etoser yang dengan kesibukan kampusnya yang luar biasa padat, tetapi masih menyempatkan waktu menghajar TPQ dimasjid sekitar asrama. Kami sangat bangga tatkala melihat etoser yang bacaan Qur’annya luar biasa. Karena kami memahami bahwa setiap etoser adalah manusia-manusia unik yang memiliki potensi-potensi yang luar biasa. Tugas kamilah yang harus banyak menggali potensi-potensi tersebut untuk dikembangkan sesuai dengan minat dan bakat mereka. Memang kami juga bukan makhluk yang sempurna tetapi kami belajar menjadi manusia yang berbahagia tatkala bisa menjadikan mereka manusia-manusia baru yang dengan segenap potensi yang mereka miliki, mereka bisa berprestasi di bidang terbaik mereka dan dengan potensi itu mereka gunakan juga untuk berkontribusi memberdayakan masyarakat Indonesia. Etos untuk Indonesia yang lebih baik.
Dan ternyata saya bisa bertahan menjadi pendamping asrama Beastudi Etos Semarang hingga akhir 2010.
Salam sayang dan kangen untuk anak-anak saya di Etos Semarang.
Yakin Bisa Pasti Bisa. Jujur, Disipilin dan Kerja Keras Monggo Lanjut...

Jumat, 16 September 2011

Menatap di depan dan kedepan

Bagi Anda yang baru saja ikut mudik dengan menaiki motor atau mobil ke kampung halaman, mungkin analogi ini sangat sangat cocok dengan Anda. Bukan berarti Anda yang mudik dengan Kereta Api, Bus bahkan Pesawat analogi ini tidak cocok dengan Anda, tetap saja cocok karena setiap kita pasti pernah mengalaminya.
Jadi begini, setiap kita mengendarai mobil atau motor, kira-kira jalanan sebelah mana yang lebih banyak kita lihat? Jalanan yang ada di depan atau di hadapan kita? Atau kondisi jalanan kedapan yang terpampang 100 atau 200 meter di hadapan kita? Atau secara tidak sadar kita melihat keduanya? Kadangkala kita lihat apa yang ada di depan kita dan pada waktu yang lain kita juga waspada melihat kedapan? Pasti sebagian besar dari kita secara sadar ataupun tidak melakukan aktivitas yang ke tiga ini pada waktu mengendarai sepeda motor atau mobil. Benar kan? Kenapa begitu? Dengan melihat apa yang ada di depan, kita tidak akan pernah menabrak lobang yang ada di tengah jalan, apalagi bagi Anda yang hidup di Bogor, hehe. Dengan melihat apa yang ada di depan, kita juga akan terhindar dari menyenggol pengendara lain. Nah apa pentingnya kita melihat kondisi jalan kedepan yang jaraknya 100 atau 200 meter dihadapan kita? Kita akan belajar waspada, melihat rambu lalulintas, kapan ada pertigaan atau bahkan perempatan, dan kita juga tahu kemana arah belokan jalan menuju tempat yang kita tuju. Dengan menatap kedepan kita tidak akan khawatir tersesat, karena mengetahui kemana arah yang musti kta ambil, mana simpangan yang harus kita pilih.
Sebenarnya begitulah hidup, begitulah kehidupan. Tatkala kita sudah memutuskan arap hidup yang kita tuju, tempat mana yang ingin kita capai, kebahagiaan hidup seperti apa yang ingin kita raih. Kita harus terus menatap kedepan, kita musti terus waspada dengan rambu-rambu yang ada di depan kita, kita musti tahu simpangan mana yang kita ambil agar cepat sampai ke tujuan hidup ini. Tetapi jangan pernah lupakan apa yang ada di hadapan kita, jangan-jangan didepan kita ada lobang bernama kekecewaan, jangan-jangan didepan kita ada kubangan masalah, hati-hati dengan selokan ketidakpasttian. Atau bisa jadi karena kita menyenggol pengendara kehidupan yang lain akhirnya kita terjatuh, bertengkar dan malah tidak jadi melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan hidup kita, karena sibuk ngurusi SIM dan STNK di pihak berwajib, hehehe.
Kehidupan memang penuh dengan ketidakpastian, tapi justru di sanalah kita di ajari bersyukur, kehidupan kadangkala membenturkan kita dengan kekecewaan, tetapi justru kita sedang di ajari tentang kesabaran. Tetapi tatkala kita sudah menetapkan arah tujuan hidup kita, pandang-pandanglah terus kedepan, teruslah menatap ke masa depan, hingga kita akan memiliki optimisme, kita akan memiliki semangat untuk terus berjuang, kita senantiasa memiliki energi untuk terus melangkah. Meskipun kita terjatuh, meskipun kita terperosok dalam kehidupan ini. Karena lebih baik berdarah-darah di masa muda dari pada menangis di masa tua. Monggo Lanjut...

Selasa, 13 September 2011

Batok Kelapa Kehidupan

Setelah berlabuh di Kota Hujan beberapa waktu yang lalu, akhirnya saya menemukan langganan sate, sate ayam Madura. Meski hanya di pinggir jalan dan seperti PKL lainnya, tetapi hampir terjual rata-rata ratusan tusuk sate setiap malamnya. Tapi menjadi menarik bagi saya adalah arang yang di pakai, ternyata bukan arang seperti biasanya yang di pakai untuk membakar sate. Kali ini sang penjual ternyata memakai arang dari “batok” Kelapa. Menurut sang pemilik, arang dari batok kelapa memeliki abu yang lebih sedikit, tetapi saya tidak bertanya lebih jauh apakah arang batok kelapa itu juga mempengaruhi rasa sate atau tidak. Yang jelas dan perlu saya catat adalah sate yang terjual rata-rata 800 tusuk sate ayam dan sate kambing setiap malam. Anda hitung sendiri saja berapa omsetnya.
Kehidupan sebenarnya sunguh mengagumkan, menggelisahkan tapi juga unik. Dan keunikanlah yang akhirnya bisa membuat sesuatu itu menjadi lebih berharga atau lebih bernilai. Tentunya bila keunikan ini pada sesuatu yang positif. Saya belum pernah melakukan survey dan menggunakan data yang cukup akurat dengan metode yang sangat ilmiah tentang penggunaan arang batok kelapa untuk membakar sate, tetapi sepanjang perjalanan kehidupan saya, ya baru kali ini saya menemukan sate yang di bakar dengan arang batok kelapa, yang akhirnya setidaknya membuat saya kesengsem dan belum ingin beralih ke penjual sate lain. Keunikan.
Sebenarnya kalau kita mau jujur, setiap kita adalah manusia yang sangat unik. Saudara kembar se kembar apapun setahu saya pasti memilki perbedaan, entah di belahan rambutnya, posisi tahi lalatnya atau mungkin perbedaan nama setidaknya. kalo kita nilai secara fisik mungkin perbedaan ini sesungguhnya tidak terlalu bernilai signifikan pada keberhasilan kehidupan kita. Yang lebih berpengaruh adalah keunikan pada sisi yang tidak tampak ini, keunikan secara ruh, mental, daya tahan, dan cara kita menangkap informasi atau bahasa kerennya modalitas belajar. Ada orang yang lebih mudah menangkap informasi dengan cara melihat atau lebih sering kita sebut orang visual, orang yang lebih mudah memahami dengan cara mendengarkan adalah orang audio, dan orang kinestetik adalah kita yang lebih mudah belajar sambil mengerjakan, menilai sesuatu dengan perasaan. “perasaan saya jumlah uang saya ga segini deh?” (lha uang ko di hitung pake perasaan?) mohon maaf bagi kawan-kawan yang sering mengalami kejadian ini. santai saja, saya juga sering begitu ko, hehe
Yang ingin saya sampaikan adalah sebenarnya baik secara fisik, fikir dan jiwa masing-masing kita itu memiliki kelebihan dan kekurangan. yang terjadi adalah kadang kala kita menggunakan argumentasi kelemahan kita sebagai pembenaran atas kegagalan yang kita hadapi. contoh saya tidak bisa menulis karena saya ini orangnya suka ngomong (curcol deh), atau saya ga berani berbicara di depan umum, saya lebih senang menulis, dll. Yang musti di catat adalah setiap kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri kita adalah anugerah dari Allah, Tuhan Semesta Alam, Yang Maha Kuasa. Tak sepatutnya kita menjadikan kelemahan yang ada pada diri kita sebagai argumen atas kegagalan hidup kita, karena bekal kelebihan yang kita miliki sebenarnya lebih dari cukup untuk membuat kita menjadi orang hebat dan berguna bagi sesama.
Jadikan keunikan diri sebagai bekal untuk terus menempa diri kita menjadi lebih baik dari hari ke hari. melihat masa depan dengan kaca mata diri yang terus membaik, melawan arus agar kita terus bugar dan semangat menantang masalah dalam hdiup. karena kita boleh saja kalah tetapi kita tidak boleh menyerah!
Yuk kita bakar satenya dengan batok kelapa!
wallahu a’lam Monggo Lanjut...

Tersesat Dalam Rimba Kehidupan

Beberapa waktu yang lalu kebetulan saya berkesempatan berkunjung ke Kota Kembang. Saya berangkat dari Jakarta naik kereta. Kebetulan di Bandung saya punya 2 agenda. Yakni silaturahim dengan rekan-rekan manajemen dan etoser Bandung juga bertemu dengan kawan-kawan lama di kampus dulu. Sesampainya di Bandung saya langsung meluncur ke Masjid Salman ITB tempat janjian ketemu dengan kawan lama di kampus UNDIP dahulu kala (ahhh seolah-olah sudah lama banget). Setelah berkangen ria dengan 2 orang sahabat terbaik, akhirnya berbekal ancer-ancer dari manajemen Etos Bandung saya hendak meluncur ke Asrama Etos Putra Bandung dengan motor pinjeman dari kawan lama saya di kampus tadi. Dengan kepercayaan diri yang tinggi saya meluncur ke arah Dago dari Masjid Salman, sampai di Jalan Dago saya belok kanan dan tidak tahu kemana pokoknya jalan saja dulu. Akhirnya setelah terjebak macet, dan tidak tahu arah saya pun memberanikan diri turun dan bertanya sama Pak Polisi yang sedang bertugas mengatur lalulintas di jalan yang padat. “Pak maaf Jalan Tubagus Ismail di mana ya Pak?” “wah Mas Anda salah arah, Jalan Tubagus Ismail di Utara sana, Mas nya harus putar balik karna ini jalan searah, bla bla bla.. baiklah, akhirnya saya harus benar-benar mengikuti instruksi Bapak Polisi yang baik hati ini untuk bisa sampai ke Jalan Tubagus Ismail di daerah Dago atas sana. Setelah bertanya beberapa kali lagi dan menelpon Manajemen Etos Bandung akhirnya ketemu juga Asramanya. alhamdulillah.
ahh saya hendak berpikir seperti ini. Seandainya tujuan, cita-cita dan harapan hidup kita ibaratkan seperti sebuah tempat yang hendak kita tuju, maka bila suatu ketika kita tersesat dalam proses menuju cita-cita tersebut maka mungkin kita akan mudah bertanya kepada orang yang kita anggap lebih tua atau lebih matang. Hampir mirip dengan ketersesatan saya di Bandung tadi, coba bayangkan kalau diwaktu saya tersesat, berhenti di pinggir jalan dan bertanya kepada Bapak polisi seperti ini, “mohon maaf Pak Polisi saya hendak kemana ya?” kira-kira menurut Anda apa jawaban Pak Polisi tadi? “wah wah, Anda kabur dari Rumah Sakit gila mana?? hehehehe. Jangan ikut menertawai saya terlebih dahulu lho ya. Siapa tahu ternyata kita saat ini juga sedang tersesat dalam proses pencapaian hidup, kita sedang kehilangan arah, hendak kemana sebenarnya kehidupan ini sedang melangkah? kemana harusnya mata ini memandang? dengan apa mustinya tangan kita mengayun? Jangan-jangan kita juga sedang bingung sekarang? Tetapi tenang, bila kita sedang tersesat dan kita sudah tahu kemana kita akan menuju. Rileks sejenak, tenangkan pikiran dan datangi orang yang lebih bijaksana dari kita. sampaikan kondisi kita saat ini dan kemana tujuan hidup kita maka insyaallah kita akan dengan mudah mendapat jawaban karena sejak awal kita sudah memiliki tujuan hidup yang jelas dan tahu tempat yang kita tuju, hanya kita sedang bingung saja dimana kita sekarang dan mana itu tempat yang kita tuju.
Hidup sesungguhnya sesederhana itu, tidak serumit yang kita kira selama ini. Asal kita tahu kemana tujuan hidup kita dan sekarang ini kita berada di mana. Maka akan dengan mudah kita dalam memilih arah kemana kaki kita harus melangkah, kemana mata kita musti memandang dan dengan apa tangan kita mengayun. Tetapi menjadi rumit apabila kita sampai hari ini tidak tahu sebenarnya untuk apa hidup kita sesungguhnya? seperti apa pencapaian hidup yang ingin kita raih, harapan besar apa yang ingin kita wujudkan. Dan semuanya kembali kepada kita sendiri. Jadi siapkah kita berpetualang dalam rimba kehidupan? Monggo Lanjut...