Rabu, 16 Juni 2010

Kenapa Khusnul Khatimah

Setiap muslim pasti menginginkan kematiannya dalam keadaan khusnul khatimah, meninggal dunia dalam keadan yang baik, atau lebih tepatnya dalam keadaan sedang beribadah kepadaNya. Kenapa begitu? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut ada baiknya saya tuturkan sebuah kisah menarik.
Dahulu kala entah zaman kapan, di suatu siang yang terik terjadi sebuah percakapan antara seekor Kucing rumahan dengan seekor Ayam kampung. Kucing rumahan yang punya kehidupan “glamour” berkata pada Ayam kampung
“hai Yam, kok kamu mau-maunya seh jadi Ayam kampung gitu? kata Kucing
“kenapa?” balas Ayam
“ yee di tanya malah balik nanya?” tukas Kucing
“ ya kan kamu itu hidupnya di kandang, kalo panas ya kepanasan, kalo dingin ya kedinginan” lanjut Kucing sambil mengejek
“ terus” pancing Ayam
“ coba lihat makananmu itu ga jelas, entah Cacing atau bahkan kotoran, minumanmu juga air comberan kan?” ejek Kucing
“ lha memangnya kenapa?” selidik Ayam
“beda dong ma aku” sahut Kucing
“ kamu tahu, aku itu tidurnya di kasur yang empuk, setiap hari sarapanku daging sereal, minumanku susu” jelas Kucing dengan membanggakan diri
“setiap hari aku juga di mandikan oleh pemilikku, beda bangetlah sama kamu” tambah Kucing
“ga apa-apa Cing” sahut Ayam
“ ga apa-apa gimana?” tanya Kucing
“ ya ga apa-apa, meskipun hidupku di kandang, kalo panas kepanasan, kalo dingin kedinginan. Makananku hanya cacing atau bahkan kotoran, minumanku dari air comberan juga ga apa-apa. Aku tahu kamu hidup dengan “kemewahan” Cing, kamu tidur di kasur yang empuk, sarapanmu daging sereal, minumanmu susu hangat ga apa-apa. Aku ga ngiri. Tapi ingat Cing, ingat Cing ya. Kalo aku mati nanti akan ada tuh yang namanya Sate Ayam, akan ada yang namanya Soto Ayam, Opor Ayam, Ayam Bakar, Ayam Goreng. Tapi coba nanti waktu kamu mati, mana ada yang namanya Sate Kucing? mana ada yang namanya Soto Kucing? mana ada yang namanya Opor Kucing? Kucing Bakar? Kucing Goreng? Ga ada kan? Yang ada paling-paling juga Nasi Kucing atau Kucing Garong? Ya kan?” jelas Ayam dengan senyum kemenangan.
Cerita itu berhenti di situ saja, kalo Anda ingin melanjutkan argumentasi sebagai Kucing, saya tidak bisa melarang anda, he he he. Tapi saran saya sebaiknya jangan Anda lakukan. Cerita ini ingin menggambarkan kepada kita, bahwa nilai sesuatu itu ada di akhir, bukan hanya di awal atau di tengah saja. Bahwa sebuah karya atau kerja itu akan lebih bernilai bila dia mempunyai akhir yang baik. Begitu juga kehidupan kita. Kehidupan kita akan lebh bermakna tatkala di akhir kehidupan kita di tutup dengan kebaikan dan amal soleh.
Sebenarnya inilah isyarat pesan dari Surat Ali Imran ayat 103:
” Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam”
Allah berpesan kepada kita agar akhir kehidupan kita haruslah tetap berpegang kepada tali agama-Nya. Agar kita mengakhiri kehidupan kita dengan amal baik. Sebenarnya pesan tersebut juga dapat kita tangkap dari ibadah-ibadah ritual kita. Shalat baru di sebut sah bila di mulai dari Takbiratul ihram dan di akhiri salam. Apa yang terjadi bila di tengah-tengah shalat tiba-tiba kita kentut? Tentu saja batallah shalat kita, dan kita harus mengulanginya dari awal lagi. Puasa juga mengajarkan demikian, puasa baru di sebut sah apabila di mulai dari sejak terbit fajar hingga datang waktu Maghrib. Apa yang terjadi bila ternyata seorang wanita dalam keadaan puasa tiba-tiba kedatangan ”tamu” bulanan? Datangnya 10 menit sebelum waktu Maghrib tiba lagi. Apa yang terjadi? Batal jugalah puasanya, eman-eman banget kan? Tapi itulah konskuensi, puasanya batal dan kalo itu adalah puasa wajib maka yang bersangkutan wajib menggantinya di lain hari.
Pertanyaannya adalah apa yang terjadi bila ternyata kita belum sampai akhir kehidupan yang baik, tiba-tiba kita ”batal”? Apakah kita harus mengulangi kehidupan lagi dari awal? Kalo shalat dan puasa mungkin bisa, tapi kalau kehidupan kita yang hanya satu kali ini jelas tidak mungkin. Apa akhirnya yang musti kita lakukan? Yang bisa kita kerjakan saat ini adalah menjaga sebaik-baiknya agar kehidupan baik itu kita kerjakan sampai tuntas dan tidak ”batal” di tengah jalan, itu saja. Titik. Itulah khusnul khatimah.
Wallahu a’lam Monggo Lanjut...

Senin, 22 Februari 2010

Belajar survival dari Pohon Jati

sejatinya kehidupan ini adalah sebuah perjalanan yang tidak ringan, setiap hari kita pasti akan di benturkan dengan masalah, selesai dengan masalah yang satu kita akan segera bertemu dengan masalah yang lain, begitu seterusnya. tetapi bukan berarti musim kemarau akan terus berlangsung sepanjang tahun, hari yang kering akan terus berlangsung sepanjang bulan, yakin saja bahwa musim hujan juga sebentar lagi menyapa, angin sejuk akan segera berhembus. dan begitulah hidup, kehidupan kita adalah kumpulan cerita bagaimana kita mampu bertahan di segala musim. ada masa-masa di mana keberhasilan, kebahagiaan seakan-akan tidak lepas dari kita, tetapi siap-siap juga suatu ketika musim paceklik akan datang, dan pertanyaan yang menarik adalah banyak orang yang akhirnya tidak mampu bertahan di musim ini.
sebuah pembelajaran menarik akan kita dapatkan dari Pohon Jati, ya pohon yang terkenal karena kualitas kayunya, pohon dengan batang yang cukup besar bila di pelihara berpuluh-puluh tahun, pohon yang menjadi salah satu andalan potensi Kabupaten Blora. tahukah Anda apa yang menarik dari pohon ini? apa yang di lakukan Pohon Jati ketika musim paceklik datang, ketika musim kemarau tiba, dan air menjadi barang langka? Tepat sekali, Pohon ini akan segera menggugurkan daun-daun yang di milikinya, sebagian atau seluruhnya. apakah pohon ini menyerah dalam hidup dan kalah dengan musim kemarau? Salah, Pohon Jati sedang "berjuang" mempertahankan hidupnya, dan menggugurkan sebagian yang di milikinya. dengan menggugurkan daun-daunnya maka Pohon Jati akan mengurangi air yang di lepaskan oleh stomata daun, sehingga kebutuhan air akan lebih sedikit, dan inilah yang namanya strategi survival dalam hidup, perjuangan mempertahankan hidup.
Hal yang menarik adalah sebenarnya bisa saja Pohon Jati menyalahkan keadaan alam yang tidak menyediakan air, menyalahkan hujan yang enggan turun, menyalahkan musim yang kian panas. Tetapi alam selalu memberi kita teladan. Pohon ini tidak mau menunjuk keluar menyalahkan keadaan, tetapi dia menunjuk kedalam, apa yang harus aku lakukan untuk bertahan dalam keadaan seperti ini? nah kadang manusia seperti kita ini sekarang begitu latah bila terjadi kegagalan dalam hidup, kita langsung menyalahkan orang lain, menyalahkan keadaan, menyalahkan takdir dan lain sebagainya.
Bukan begitu yang diajarkan alam kepada kita, sekali waktu bila kita sedang mengalami hari yang payah, musim yang kering, rejeki yang seret, kita harus melihat kembali kedalam, kepada diri kita. meneladani pohon jati, apa yang bisa kita lakukan untuk dapat bertahan dalam keadaan seperti ini dan terus maju melangkah kedepan untuk kehidupan yang lebih baik? Monggo Lanjut...

Kekeluargaan

Lebaran haji ini akhirnya aku memutuskan untuk merayakannya di kampung halaman. Di sebuah kampung kecil di pingggiran Kota Blora, sebuah kampung yang telah mendidik dan membesarkanku, bukan hanya dari sisi fisik tapi juga karakter. Dan dari kampung inilah aku belajar banyak hal tentang hidup dan kehidupan. Dan kepulanganku kemarin ke kampung halaman telah mengajarkankanku kembali tentang satu hal bermakna dalam serial pembelajaran kehidupan. Kekeluargaan.

Ceritanya begini, kami memiliki satu orang tetangga yang cukup kami hormati, karena beliau, tetangga sebelah rumah kami ini adalah sesepuh kampung, yang pendapatnya di dengar oleh banyak warga, selain itu beliau juga Ketua RT kami. Dan hari Jum’at yang lalu tepatnya tanggal 28 Oktober 2009 beliau terkena sakit magg yang sangat kronis, yang akhirnya memaksa keluarga membawa beliau ke Puskesmas terdekat.

Atas inisiatif Ayahku, akhirnya kami sekeluarga datang ke Puskesmas untuk menjenguk beliau. Tepat setelah Maghrib kami berangkat ke Puskesmas di mana tetangga kami di rawat. Yang datang pada waktu itu untuk menjenguk ternyata bukan hanya keluarga kami, tetapi beberapa orang yang memang kenal dekat dengan tetangga kami ini juga sudah berdatangan. Pada waktu kami datang beliau sedang terbaring menahan perih dengan selang infus terpasang di tangan beliau.. Beberapa anggota keluarga, kami lihat menangis.

Satu dua orang tetangga kami yang lain mulai berdatangan, tetapi lama kelamaan ruangan sempit di Puskesmas itu menjadi penuh bahkan sesak, akhirnya kami yang datang lebih dulu harus mengalah dan memberikan kesempatan bagi pengunjung yang lain untuk menjenguk beliau. Dan kalau coba aku hitung-hitung mungkin jumlahnya ada sekitar 50an orang lebih. Aku terharu, bukan melihat kesakitan tetangga kami, tetapi aku terharu melihat betapa banyaknya orang yang datang untuk menjenguk beliau dan betapa rasa kekeluargaan itu masih sangat erat dan melekat dalam kampung kami. Aku terharu, benar-benar terharu dan bersyukur, bahwa kami masih memiliki kampung yang luar biasa menjunjung tinggi rasa kekeluargaan dan kekerabatan.

Dan malam itu kami belajar untuk tidak lagi menjadi egois, berpikir hanya untuk dirinya sendiri, tetapi malam itu kami belajar untuk menjadi warga yang ramah pada tetangganya, warga yang peduli dengan penderitaan sesama, warga yang mencintai masyarakatnya, dan aku belajar tentang kekeluargaan.

Monggo Lanjut...